Selasa, 7 Oktober 2025

Calon Presiden 2014

Polri Masih Kaji Pelanggaran Obor Rakyat

Untuk mendalami pelanggaran terhadap Undang-undang Pers, kepolisian sudah menghadirkan Dewan Pers sebagai saksi ahli.

Penulis: Adi Suhendi
Editor: Rendy Sadikin
Kompas.com
Koran Obor Rakyat berisi tentang pembusukan Capres Jokowi banyak disebar di masjid-masjid di Kabupaten Pamekasan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepolisian belum menentukan sikap atar pelanggaran yang dilakukan Tabloid Obor Rakyat. Saat ini ada dua fokus pelanggarang yang sedang digali penyidik, apakah pelanggaran terkait undang-undang pers atau pidana umum.

Untuk mendalami pelanggaran terhadap Undang-undang Pers, kepolisian sudah menghadirkan Dewan Pers sebagai saksi ahli. Tetapi pengambilan keterangannya belum selesai sehingga akan dilanjutkan Rabu (2/7/2014).

"Kemarin saksi ahli dari dewan pers kita periksa, minta dilanjutkan Rabu jadi belum ada keputusan," ungkap Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri Komjen Pol Suhardi Alius di Lapangan Bhayangkara, Jakarta Selatan, Selasa (1/7/2014).

Dikatakannya ada tiga landasan hukum yang dipakai kepolisian dalam mengusut kasus Obor Rakyat. Pertama, undang-undang Pemilu karena tabloid tersebut beredar saat masa kampanye.

Kedua, undang-undang pidana umum dengan penerapan pasal 310 dan 311 KUHP tentang fitnah dan pencemaran nama baik. Ketiga, undang-undang Pers terkait perijinan pembuatan Tabloid. "Dalam Pilpres sudah disebutkan Bawaslu, itu dihentikan karena sudah kadaluarsa," ujarnya.

Dengan adanya laporan pada 16 Juni 2014 yang diterima Bareskrim Polri, penyidik langsung melakukan proses hukum. Ada dua kemungkinan yang bisa diterapkan dalam kasus tersebut dengan menerapkan undang-undang pers atau menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

"Itu kan konstruksi hukumnya harus ada. Sekarang saksi ahli sudah dua kali dipanggil. Dewan Pers dilanjutkan besok jadi belum diputuskan. Kalau dari delik pers ini kan ada sanksinya pasal 18 ayat 3 undang-undang pers," ungkapnya.

Khusus untu mengusut pidana umum kasus tersebut, kepolisian melakukan koordinasi dengan kejaksaan agung. "Apakah bisa dimasukkan dalam undang-undang pidana umum? sementara jaksa berfikir ini masih Pilpres," katanya.

Kepolisian tidak mau tergiring opini yang menganggap bahwa dengan mudah pelakunya bisa ditangkap dalam kasus tersebut. Untuk itu, kepolisian terus melakukan pengambilan keterangan terhadap saksi ahli dalam rangka menentukan tindak pidana yang terjadi.

"Kita tidak bisa membuat konstruksi hukum berlandaskan asumsi atau opini. Sangat diperlukan saksi ahli, disini ada empat saksi ahli yang kita minta. Saksi ahli bahasa, dewan pers, kominfo, dan ahli pidana yang netral. Saksi itu sudah kita panggil tapi belum datang dua kali kita kirim ke instansi. Baru dewan pers yang datang itupun minta dilanjutkann besok," ungkapnya.

Mantan Kapolda Jawa Barat ini berharap pihaknya mempunyai landasan hukum yang cukup untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam kasus tersebut. "Jangan cuma satu alat bukti," ujarnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved