Pemilu 2014
Dikotomi Capres Jawa-NonJawa Bahayakan NKRI
Menjelang Pemilu 2014 kembali mencuat dikotomi calon presiden (capres), Jawa dan non-Jawa.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menjelang Pemilu 2014 kembali mencuat dikotomi calon presiden (capres), Jawa dan non-Jawa.
Pengamat politik John Palinggi mengungkapkan dikotomi seperti itu merupakan pola sesat pikir yang pada akhirnya mengancam keutuhan Negara Kesatuan RI (NKRI).
Apalagi, Indonesia dibangun diatas kemajemukan.”Kalau masih ada yang berpikir Jawa dan non Jawa, itu sangat berbahaya dan bisa memicu disintegrasi,” kata John dalam keterangannya, Kamis (13/2/2014).
Menurut dia, dikotomi Jawa dan luar Jawa menjadi tidak relevan karena sebagian besar masyarakat saat ini telah lebih banyak melihat bukti nyata dari pada sekadar asal-usul capres.
“Saya kira, pemikiran seperti itu bisa mencederai bhineka tunggal ika, rasa satu nusa satu bangsa dan persatuan nasional,” ujarnya.
John mengatakan, isu kesukuan, agama maupun etnis tidak boleh berkembang di Indonesia. Karena itu, sangat bertentangan dengan UU Pemilu.
“Saya kira, demi keseimbangan politik maka perlu kombinasi antara Jawa dan luar Jawa. Jawa bisa sebagai capres dan luar Jawa sebagai cawapres. Ataupun sebaliknya,” ujarnya.
Ketika ditanya soal peluang Ketua Umum DPP PAN, Hatta Rajasa menjadi capres, John mengaku semua kandidat memiliki peluang yang sama.
“Saya kira, figur pak Hatta sangat baik. Dia teruji mengelola ekonomi Indonesia sehingga on the track. Tetapi, saya tidak mau terlalu jauh menilai figur Pak Hatta ini karena masa transisi masih dalam proses,” tegasnya.
Yang jelas kata dia, tidak ada parpol yang unggul meraih suara signifikan 20persen pada pemilu 2014 mendatang. Karena itu, pasti akan terjadi koalisi diantara parpol untuk memenuhi persyaratan mengajukan capres.