Senin, 6 Oktober 2025

Pertama Kalinya, Negara Tunisia Punya Perdana Menteri Perempuan

Negara Tunisia untuk pertama kalinya mempunyai seorang perdana menteri perempuan. Ia adalah Najla Bouden Ramadhane.

Ilustrasi Parapuan Foto 2021-10-01 20:02:03 

Parapuan.co - Negara Tunisia untuk pertama kalinya dalam sejarah memiliki perdana menteri perempuan.

Hal itu terjadi pada hari Rabu (29/9/2021), saat Presiden Tunisia menunjuk seorang perempuan untuk menjadi perdana menteri.

Perdana menteri perempuan itu adalah Najla Bouden Ramadhane, sosok yang berpofesi sebagai profesor.

Najla ditunjuk oleh Presiden Tunisia untuk memimpin pemerintahan transisi setelah kepala negara memecat perdana menteri sebelumnya dan menskors parlemen.

Baca Juga: Inilah Profil Mary Barra, CEO Perempuan Pertama dalam Industri Mobil

Najla Bouden Ramadhane menjadi perdana menteri perempuan pertama Tunisia dalam usianya yang sudah mencapai 63 tahun.

Ia merupakan seorang profesor di sekolah teknik bergengsi yang memegang jabatan tinggi tersebut.

Meski ini menjadi hal membanggakan bagi kita para perempuan, namun penunjukan Najla sebagai perdana menteri itu cukup menuai pro dan kontra.

Melansir dari Time, Keputusan Presiden Kais Saied menunjuk Najla Bouden Ramadhane sebagai perdana menteri dinilai mengejutkan.

Sebab selain diminta menjadi perdana menteri, Najla juga diutus presiden untuk segera membuat kabinet baru.

Namun yang pasti, dipilihnya Najla Bouden Ramadhane sebagai perdana menteri diiringi harapan bahwa dirinya mampu membawa perubahan besar di Tunisia.

Masyarakat setempat pun memiliki harapan besar pada perdana menteri perempuan tersebut.

Sebelum Najla Bouden Ramadhane dipilih, Tunisia tengah mengalami gejolak pemerintahan yang cukup mengkhawatirkan.

Baca Juga: Mengenal Rawdah Mohamed, Model Berani yang Jadi Editor Fashion Berhijab Pertama di Vogue Skandinavia

Negara itu tidak memiliki kepala pemerintahan dan berada dalam kekosongan sejak Presiden Saied membekukan parlemen negara.

Presiden Saied juga merebut kekuasaan eksekutif pada tanggal 25 Juli 2021 lalu.

Langkah itu dianggap mengesampingkan hak-hak dari partai Islam yang mendominasi parlemen, Ennahdha.

Banyak kritikus politik global yang mengecam langkah presiden tersebut sebagai kudeta yang mengancam Tunisia.

Saied sendiri mengatakan bahwa ia bertindak untuk menyelamatkan negara di tengah kerusuhan atas masalah keuangan.

Selain itu, Saied juga menyatakan bahwa keputusannya adalah bentuk penanganan pemerintah terhadap pandemi virus corona.

Pekan lalu, Saied mengeluarkan dekrit presiden untuk mengumumkan rencana pemerintahan transisi dan aturan pemilihan baru.

Keputusan tersebut termasuk penangguhan kekuasaan parlemen yang berkelanjutan.

Baca Juga: Menjadi Penjaga Perdamaian PBB, Inilah Sosok Cecilia Permatasari

Selain itu, keputusan tersebut juga mengatur penangguhan kekebalan anggota parlemen dari penuntutan dan pembekuan gaji anggota parlemen.

Dekrit tersebut juga menyatakan niat Saied untuk tidak merancang undang-undang dengan persetujuan parlemen.

Presiden Saied hanya akan merujuk pada dekrit presiden saja, mengabaikan bagian dari Konstitusi Tunisia.

Langkah Saied telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan Islamis dan kekuatan pro-demokrasi di dalam dan di luar wilayah Arab.

Tunisia sendiri adalah satu-satunya negara yang muncul dari periode penuh gejolak dengan sistem politik demokrasi yang baru dirancang.

Lebih dari 100 pejabat Ennahdha mengumumkan pengunduran diri mereka pada hari Sabtu lalu.

Mereka memprotes pilihan kepemimpinan partai dalam menghadapi krisis politik negara tersebut. (*)

Sumber: Parapuan
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved