Jumat, 3 Oktober 2025

Penulisan Ulang Sejarah RI, Juru Bicara PDIP: Megawati Singgung Jas Merah, Jangan Sampai Dipelintir

Menurut Ansy Lema, Megawati ingin mengingatkan agar pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak melupakan sejarah.

Tribunnews.com/Fransiskus Adhiyuda
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI - Presiden Kelima RI sekaligus Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, saat menyampaikan pidato dalam pengumuman calon kepala daerah PDIP gelombang kedua, di DPP PDIP, Menteng, Jakarta, Kamis (22/8/2024). Juru bicara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ansy Lema menjelaskan soal pidato Megawati Soekarnoputri di tengah munculnya wacana penulisan ulang sejarah RI. 

TRIBUNNEWS.COM - Juru bicara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ansy Lema menjelaskan soal pidato Megawati Soekarnoputri di tengah munculnya wacana penulisan ulang sejarah RI.

Adapun Megawati sempat menyinggung soal sejarah yang dipotong pada Sabtu (7/6/2025) lalu.

Menurut Ansy Lema, Megawati ingin mengingatkan agar pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak melupakan sejarah.

Sehingga, Megawati juga mengutip kata-kata dari ayahnya, Presiden RI ke-1 Ir. Soekarno, yakni Jas Merah, 'jangan sekali-kali melupakan sejarah.'

"Kalau kita baca, kita mendengar secara keseluruhan transkrip pidato yang disampaikan Ibu Mega, yang Ibu Mega sampaikan itu adalah ada tiga hal," papar Ansy, sebagaimana dikutip dari tayangan Apa Kabar Indonesia Malam yang diunggah di kanal YouTube tvOneNews, Senin (9/6/2025).

"Satu, bicara tentang sejarah. Yang kedua, bicara tentang hal-hal fundamental, prinsip dalam bernegara dan berbangsa. Dan yang ketiga bicara tentang kedaulatan hukum. Hukum harus berujung pada penegakan keadilan," lanjutnya.

Ansy menjelaskan, Megawati tidak mau jika sejarah hanya ditulis oleh penguasa.

Ia melanjutkan, Megawati ingin mewanti-wanti agar sejarah tidak dipelintir, dipandang hanya dari satu perspektif, atau hanya menampilkan hal-hal yang baik saja.

"Bu Mega mengutip kata-kata yang sangat legendaris dari Bung Karno. Jas merah. Jangan sekali-kali melupakan sejarah," jelas Ansy.

"Nah, Ibu bicara soal sejarah itu tidak boleh hanya ditulis oleh mereka yang dianggap sebagai the winner, pemenang. Dalam hal ini, dalam kurung penguasa atau rezim yang berkuasa. Karena jika hal itu dilakukan bisa tergelincir," tambahnya.

"Pada kepentingan bagaimana bicara tentang hal-hal yang baik saja. Hanya dalam satu perspektif, kemudian perspektif yang lain ditinggalkan. Jadi jas merah," lanjut Ansy.

Baca juga: Wacana Rencana Reshuffle Kabinet Mencuat Usai Elite Gerindra Temui Megawati, Istana: Belum Ada Ya

"Ibu ingin mengingatkan bahwa bangsa ini hari ini dan ke depan itu tergantung dari masa lalu. Masa lalu itu adalah experience, hari ini adalah eksperimen yang kita lakukan, dan masa depan itu adalah expectation, harapan yang akan kita capai," paparnya.

"Ibu menegaskan tentang sejarah ini harus benar, harus lurus, harus tegak sesuai dengan fakta dan peristiwanya," tambahnya.

"Ibu Mega menegaskan sejarah itu jangan dipelintir-pelintir ya, jangan ditulis dalam satu perspektif saja apalagi dipolitisasi untuk kepentingan penguasa. Kalau sejarah saja bisa di pelintir-pelintir, oke bukan tidak mungkin hukum juga bisa mengalami hal seperti itu," tegas Ansy.

Sejarah yang Dipotong

Pada Sabtu (7/6/2025) lalu, Megawati menyinggung soal sejarah yang dipotong sehingga yang menjadi bagiannya hanyalah semenjak era Orde Baru (Orba).

Padahal, ada masa di mana Presiden Pertama RI, Soekarno, memperjuangan Kemerdekaan Indonesia dan menyatukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hal itu disampaikannya saat memberi sambutan di acara pameran foto milik sang kakak, Guntur Soekarnoputra yang bertajuk 'Pameran Foto Gelegar Foto Nusantara 2025: Potret Sejarah dan Kehidupan' di Galeri Nasional (Galnas) Indonesia, Jakarta Pusat. 

"Menjadi Indonesia itu bukannya gampang, tapi sekarang sepertinya sejarah itu hanya dipotong, diturunkan TAP (TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967) ini, lalu yang namanya sejarah itu hanya ketika zaman order baru,” kata Megawati.

Menurut Megawati, pemotongan sejarah tersebut terjadi saat turunnya TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno.

“Padahal, saya suka mengatakan, kalau memberi ceramah, saya ingin bilang, kalau ada yang tidak setuju angkat tangan, (sebut) nama, nomor telepon, nanti ketemuan sama saya,” ujar Megawati.

“Saya bisa menerangkan bahwa ini adalah aliran sejarah yang namanya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang seharusnya sebagai insan Republik ini, tahu apa dan bagaimana sejarah kita,” katanya lagi.

Untuk itu, Megawati mengungkapkan, tengah mengumpulkan para ahli sejarah agar sejarah yang ada tidak lagi mengalami pemotongan atau kekeliruan.

“Kita boleh berbeda, Bung Karno juga bilang begitu, malah dibuat namanya Bhineka Tunggal Ika, bermacam-macam, tapi satu jua. Tapi jangan, jangan sepertinya, terus ada bagian dari manusia Indonesia, sepertinya dibedakan,” ujarnya.

(Tribunnews.com/Rizki A.) (Kompas.com)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved