Jumat, 3 Oktober 2025

Kampanye World Day for the End of Fishing Tingkatkan Kesadaran Dampak Industri Budidaya Ikan

Hampir 1.100 miliar ikan ditangkap di laut setiap tahun hanya untuk memberi makan hewan budidaya seperti salmon yang notabene adalah karnivora

Editor: Eko Sutriyanto
zoom-inlihat foto Kampanye World Day for the End of Fishing Tingkatkan Kesadaran Dampak Industri Budidaya Ikan
Istimewa
Ilustrasi budidaya ikan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Banyak konsumen percaya praktek akuakultur dipandang lebih berkelanjutan daripada penangkapan ikan di laut, padahal ini merupakan kesalahpahaman besar.

"Budidaya ikan, udang, dan jenis hewan air lainnya sebenarnya bisa lebih berbahaya dan juga bertanggung jawab atas menipisnya keanekaragaman hayati di lautan," kata Fernanda, Direktur Kebijakan Pangan dan Kesejahteraan Hewan Sinergia Animal, Rabu (24/3/2021).

Sinergia Animal merupakan organisasi perlindungan hewan yang didedikasikan untuk memerangi praktik terburuk industri peternakan di negara-negara dunia selatan dan mempromosikan pilihan makanan yang lebih welas asih. 

"Hampir 1.100 miliar ikan ditangkap di laut setiap tahun hanya untuk memberi makan hewan budidaya seperti salmon yang notabene adalah karnivora atau tilapia yang merupakan jenis ikan omnivora," katanya.

Dalam kasus salmon, misalnya diperkirakan dalam perhitungan industri, untuk menghasilkan 1 kg dagingnya, diperlukan lebih dari 800g ikan dan jumlah ini bahkan tidak memperhitungkan bycatch, atau hewan laut yang secara tidak sengaja ditangkap dalam penangkapan ikan di laut.

Baca juga: Menteri Trenggono Dukung Tapanuli Tengah dan Sibolga jadi Roda Penggerak Industri Perikanan

Penangkapan ikan yang berlebih merupakan masalah yang mendesak, bahkan Netflix merilis film dokumenter baru, "Seaspiracy", pada tanggal 24 Maret, mengenai isu tersebut.

"Film ini membahas bagaimana industri perikanan terkait langsung dengan penurunan keanekaragaman hayati, perdagangan manusia, perubahan iklim, dan bagaimana kehidupan manusia akan terancam kecuali kita "meninggalkan lautan untuk mereka sendiri," kata pendiri Sea Shepherd, Kapten Paul Watson.

Kuakultur  menyumbang 47% dari total produksi ikan di seluruh dunia dan diramalkan akan hampir melampaui total dari semua perikanan tangkap pada tahun 2024.

Pertumbuhan yang cepat menimbulkan kekhawatiran di antara para ilmuwan dan aktivis, yang mengklaim bahwa hal tersebut merugikan bagi lingkungan, dan juga berisiko bagi kesehatan masyarakat dan kejam terhadap hewan. 

"Tambak Ikan sering kali terdiri dari kolam yang kotor, dengan kualitas air yang buruk, atau di laut atau danau, ikan menjadi sasaran segala jenis penyakit dan dimakan hidup-hidup oleh segala jenis parasit, mulai dari kutu laut parasit hingga jamur dan virus," kata Fernanda.

Baca juga: Dukung Kepmen 14/2021, KKP Luncurkan Sistem Informasi Penataan Ruang Laut

Investigasi yang dirilis minggu ini oleh LSM Compassion in World Farming menunjukkan salmon dengan luka terbuka dan mengalami kebutaan di Skotlandia, produsen terbesar ketiga dari spesies ini di dunia.

Untuk mencegah terjangkitnya penyakit yang disebabkan oleh kondisi tambak yang tidak sehat, industri perikanan seringkali menggunakan antibiotik.

Praktik ini dapat menyebabkan kontaminasi air dan tanah dengan antibiotik dan resistensi bakteri, dan juga secara langsung berdampak pada infeksi daging yang dikonsumsi orang-orang.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bahkan antibiotik yang dilarang lebih dari 10 tahun yang lalu untuk budidaya ikan di beberapa negara masih dapat terdeteksi pada produknya sekarang.

Komponen kesejahteraan hewan juga menjadi topik bermasalah dalam industri ini. Ikan, yang terbukti mampu merasakan segudang sensasi dan emosi, sering kali dibesarkan dengan ruang yang terlalu minim untuk mengekspresikan perilaku alaminya.

Kepadatan yang tinggi seringkali menyebabkan perkelahian dan cedera akibat stres.ereka yang tidak membusuk sampai mati ‘dibantai’ dengan cara dibuat sesak napas, atau dengan dikuliti, dipotong-potong dan dimusnahkan hidup-hidup, dan metode kejam lainnya,” ungkap Fernanda. 

Sinergia Animal  mengundang siapa saja yang peduli dengan dampak peternakan hewan untuk mempertimbangkan kembali apa yang mereka pilih untuk dimakan.

“Setelah mempelajari semua faktor ini, penting bagi masyarakat untuk mengetahui alternatif yang lain. 

Salah satu hal terbaik yang dapat kita lakukan untuk mengubah kenyataan ini adalah meninggalkan produk hewani, termasuk hewan laut, dari piring kita,” kata Fernanda.

Fakta ini mendorong munculnya kampanye global The World Day for the End of Fishing yang bertujuan menginformasikan konsumen mengenai pola konsumsi yang lebih sadar dan bertanggung jawab dalam mengkonsumsi ikan dan makanan laut, juga diluncurkan di Indonesia minggu ini.

LSM internasional Sinergia Animal, ikut serta dalam menyerukan aksi dan ikut memberikan alternatif resep dan ide yang mudah untuk menggantikan makanan laut dan ikan dengan opsi yang berbasis nabati untuk menyelamatkan hewan dan melestarikan lingkungan.  

Acara tahunan ini diadakan oleh 164 organisasi di seluruh dunia.

Kampanye ini dibuat oleh organisasi yang berasal dari swiss, Pour l'Égalité Animale “Untuk Kesetaraan Hewan”( PEA), pada tahun 2016, dan tahun ini difokuskan pada dampak budidaya ikan, atau disebut juga dengan istilah akuakultur.

Di Indonesia, Sinergia Animal menerbitkan e-book dengan 15 resep vegan yang terinspirasi dari resep makanan laut, yang tersedia untuk diunduh gratis di https://www.sinergiaanimalindonesia.org/resep-laut.

Organisasi tersebut juga menerbitkan materi edukasi mengenai topik tersebut di Facebook (https://www.facebook.com/sinergiaanimalindonesia), Instagram (https://www.instagram.com/sinergiaanimalindonesia/) dan Twitter (https://twitter.com/sinergia_indo) dalam minggu ini.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved