Selasa, 30 September 2025

Perma Bui Seumur Hidup bagi Koruptor Dinilai Mengintervensi Kebebasan Hakim

Merujuk KUHP dan UU Tipikor, hakim memiliki kebebasan menjatuhkan pidana berkaitan jenis pidana, berat ringannya pidana dan cara pelaksanaan pidana

Kompas.com/ (Getty/Independent)
Hakim.(Getty/Independent) 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengintervensi kebebasan hakim seperti diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Hal itu disampaikan Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Pujiono ketika dihubungi Tribunnews.com, Senin (3/8/2020).

Baca: Berharap Perma Bui Seumur Hidup untuk Koruptor Hanya Jadi Petunjuk Teknis Hakim

Dalam PerMA tersebut disebutkan, pelaku tindak pidana korupsi atau koruptor dapat hukuman seumur hidup bila merugikan negara lebih dari Rp 100 miliar.

"Meskipun MA memang memiliki fungsi pengawasan dan pembinaan fungsi yudisial terhadap hakim. Akan tetapi tidak berarti bahwa MA bisa mencampuri urusan pemidaan yang diberikan oleh hakim," ujar Pujiono.

Karena kata dia, berdasar KUHP dan UU Tipikor, hakim memiliki kebebasan menjatuhkan pidana berkaitan jenis pidana, berat ringannya pidana dan cara pelaksanaan pidana.

"Khusus berat ringannya pidana (strafmaat) hakim memiliki kebebasan bergerak dari minimum umum satu hari untuk delik dalam KUHP dan minimum khusus misalnya Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor 4 tahun dan 1 tahun. Hingga batas maksimum ancaman tindak pidana yang dilakukan," jelasnya.

Perma tersebut selain mengintervensi kebebasan hakim, menurut dia, juga bertentangan dengan UU.

Dia mencontohkan pada penerapan pasal 2 UU Tipikor, pidana yang dijatuhkan berkisar minimal 4 tahun hingga pidana mati, seumur hidup atau maksimal 20 tahun.

Ketentuan ini adalah politik perundang-undangan yang dibuat negara.

Artinya dia menjelaskan, hakim bisa memilih berdasarkan aturan pemidanaan dan rasa keadilannya yang dipertanggungjawabkan langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Karena itu dia menilai, Perma ini bukan cara terbaik untuk mengatasi disparitas pidana.

"Disparitas adalah sebuah kenicayaan. Disparitas yang tidak dapat ditolelir adalah disparitas tanpa pertimbangan yang matang dan tidak transparan," tegasnya.

Sebelumnya diberitakan, korupsi merupakan kasus yang masih terus terjadi di Indonesia. Hingga kini masih banyak bermunculan kasus korupsi yang terendus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Terkait kejahatan ini, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Peberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Adapun, pasal 2 dan pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah terkait terdakwa korupsi yang merugikan keuangan negara.

Beleid ini diteken oleh Ketua MA Syarifuddin dan diundangkan pada 24 Juli 2020 lalu.

Adapun, pada intinya beleid ini memungkinkan pelaku tindak pidana korupsi atau koruptor dipidana seumur hidup bila merugikan negara di atas Rp 100 miliar.

MA dalam pertimbangannya merilis Perma i1/2020 adalah untuk k menghindari disparitas hukuman pada kasus yang serupa.

"Untuk menghindari disparitas perkara yang memiliki karakter serupa, diperlukan pedoman pemidanaan," ungkap pertimbangan poin b dalam Perma tersebut seperti dikutip KONTAN, Minggu (2/8).

Perma 1/2020 ini sendiri membagi hukuman menjadi lima kategori, yakni;

Kategori paling berat, yaitu kerugian negara lebih dari Rp 100 miliar. Kategori berat, yaitu kerugian negara Rp 25 miliar-Rp 100 miliar. Kategori sedang, yaitu kerugian negara Rp 1 miliar-Rp 25 miliar. Kategori ringan, yaitu kerugian negara Rp 200 juta-Rp 1 miliar. Kategori paling ringan, yakni kerugian negara kurang dari Rp 200 juta.

Selain faktor uang negara yang dicuri, hukuman yang dijatuhkan mempertimbangkan kesalahan, dampak, dan keuntungan bagi si koruptor. Ada tiga jenis kesalahan, yaitu:

1. Kesalahan tinggi, dampak tinggi dan keuntungan terdakwa tinggi

2. Kesalahan sedang, dampak sedang dan keuntungan terdakwa sedang

3. Kesalahan rendah, dampak rendah dan keuntungan terdakwa rendah

Baca: PerMA Bui Seumur Hidup bagi Koruptor Dinilai Belum Atur Sanksi Terhadap Hakim yang Abai

Berikut ini simulasi hukuman paling berat sesuai Perma 1/2020:

Penjara seumur hidup atau penjara 16-20 tahun: terdakwa korupsi Rp 100 miliar lebih, kesalahan tinggi, dampak tinggi dan keuntungan terdakwa tinggi. Penjara 13-16 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 100 miliar lebih, kesalahan sedang dampak sedang dan keuntungan terdakwa sedang. Penjara 10-13 tahun penjara: terdakwa korupsi Rp 100 miliar lebih, kesalahan ringan, dampak ringan dan keuntungan terdakwa ringan.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved