Selasa, 7 Oktober 2025

Alasan-alasan Adanya Pejabat Publik yang Inginkan Sistem Dinasti Politik

Tak pelak hal ini akan membuat kesempatan bagi orang lain untuk maju terhambat dan yang memegang kendali

Tribunnews.com/ Ilham Rian Pratama
Ketua WP KPK Yudi Purnomo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (16/10/2019). 

 Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnomo mengungkap alasan-alasan pejabat publik memerlukan dan membutuhkan sistem dinasti politik.

Salah satunya adalah untuk mempertahankan kekuasaan atau regenerasi.

Dimana banyak fasilitas yang pejabat publik dapatkan nantinya juga menjadi menggiurkan.

"Kekuasaan itu 'kue' yang semua orang suka. Undang-undang membatasi 5 tahun, kemudian hanya dua periode atau dengan kata lain 10 tahun.

Maka diakali nanti istrinya yang maju, anaknya yang maju, iparnya, adiknya, seperti itu," ujar Yudi, dalam diskusi daring 'Refleksi menuju 75 tahun Kemerdekaan Indonesia : Sudahkah Kita Merdeka dari Korupsi dan Dinasti Politik?', Kamis (30/7/2020).

Baca: KPK Akhirnya Tahan Orang Kepercayaan Bupati Malang Rendra Kresna

Tak pelak hal ini akan membuat kesempatan bagi orang lain untuk maju terhambat dan yang memegang kendali orangnya itu-itu saja.

Alasan lain yaitu kesolidan sistem agar korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) lancar.

Menurut Yudi korupsi adalah kejahatan yang tidak dilakukan sendiri.

Karenanya ketika orang-orang atau yang menempati posisi penting tak berganti, maka KKN akan semakin lancar dilakukan.

"Korupsi adalah kejahatan yang bersama-sama. Artinya harus dilakukan mulai dari hulu sampai hilir.

Tidak mungkin hanya bisa sebagian saja," kata dia.

Baca: Ketua Wadah Pegawai KPK: Indonesia Lebih Kenal Politik Kekerabatan Ketimbang Politik Dinasti

Ketakutan terbongkarnya korupsi juga menjadikan pejabat publik memerlukan sistem dinasti politik.

Ketika posisinya digantikan oleh orang yang bukan kerabat, ketakutan aksi korupsinya terbongkar akan bertambah.

Yudi mengatakan ada pepatah yang cocok dan kerap digunakan untuk menunjukkan situasi tersebut.

Yaitu 'kalau orang menjabat, yang bukan saudara pun mengaku saudara', sebaliknya 'kalau tidak menjabat, yang saudara pun tidak akan mengaku saudara'.

"Ketakutan korupsinya terbongkar juga menyebabkan mereka membangun dinasti politik.

Karena mereka nggak ayem, nanti begitu tidak menjabat, tiba-tiba puluhan perbuatan yang tidak menyenangkan atau korupsi yang dilakukan akan dilaporkan oleh orang baru ataupun orang-orang lainnya," jelasnya.

Baca: Sebut Publik Tak Percaya Lagi Pada Jokowi, Sudjiwo Tedjo Beberkan Bukti, Singgung Politik Dinasti

Berlanjut dengan alasan agar Aparatur Sipil Negara (ASN) tetap loyal.

Dimana ketika kerabat pejabat publik terdahulu yang memegang posisi selanjutnya, maka ASN akan cenderung loyal kepadanya.

"Karena mereka paham bahwa ternyata yang dimajukan itu hanyalah untuk semacam kamuflase saja, sebagai pemimpin formil dan bukan pemimpin secara de facto. De facto-nya tetap yang lama," imbuh Yudi.

Terakhir, adanya simbiosis mutualisme dalam proyek-proyek.

Yudi mengatakan sistem dinasti politik akan membuat proyek semakin lancar.

Karena sudah saling mengenal kebiasaan kerabat terdahulunya.

"Pengusaha pasti akan berpikir 'ternyata kalau dengan orang ini lancar kok kalau main proyek'.

Karenanya ketika terjadi perubahan atau orang yang menjadi bupati bukan kerabat maka takut mereka tidak dipakai," tandasnya.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved