Warga Sunter Jaya Dirikan Tenda dan Menolak Pindah ke Rusun, Warga Berharap Bisa Mencari Nafkah Lagi
Warga Sunter Jaya menolak pindah ke Rusun, mereka lebih memilih mendirikan tenda di lokasi penggusuran.
TRIBUNNEWS.COM - Warga Sunter Jaya, Jakarta Utara yang rumahnya digusur oleh Pemerintah Kota Jakarta Utara, memilih tetap bertahan dengan mendirikan tenda di sekitar lokasi gusuran.
Warga memilih untuk tetap bertahan di wilayah penggusuran setelah tempat tinggalnya digusur pada Kamis (14/11/2019) lalu.
Lokasi penggusuran tersebut terletak di Jalan Sunter Agung Perkasa 8, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Warga mendirikan tenda untuk tinggal dan beraktivitas seperti biasanya.
Tenda yang mereka dirikan ada di pinggiran lokasi yang akan dijadikan normalisasi saluran air.
Kuasa Hukum warga Sunter Agung, M Furqon mengatakan, warga sudah berpuluh-puluh tahun tinggal di sana, selain sebagai tempat tinggal, warga juga membangun tempat usaha di lokasi tersebut
"Ditanya terkait aktivitas warga ke depan seperti apa, kita lihat saja, warga ya hanya bertempat tinggal di sini, artinya mereka sudah berpuluh-puluh tahun menempati lokasi ini, yang tadinya kondisinya tanah rawa-rawa, mereka hidup membangun usaha, mereka tetap sebagai warga negara, warga DKI sini," ungkapnya, Minggu (17/11/2019), melihat tayangan YouTube KOMPASTV.
M Furqon berharap nantinya warga tetap mendapat pekerjaan di lokasi tersebut seperti sebelumnya.
"Mereka harapannya tetap bisa mencari nafkah di tempat ini, seperti itu," lanjutnya.
Sementara, pihak Kecamatan Tanjuk Priok mengaku telah memberikan solusi kepada warga yang terkena dampak penggusuran.
Warga diberi solusi untuk tinggal di rumah susun, namun warga menolak dengan alasan tidak ada tempat untuk bekerja.
Camat Tanjuk Priok Syamsul Huda mengatakan, warga Sunter Jaya sudah mengetahui bahwa lokasi yang mereka jadikan tempat tinggal adalah tanah tidak berizin.
"Pada dasarnya mereka itu menyadari ya, bahwa dia nempatin disini tidak pada tempatnya, dia menyadari," ujarnya.
Syamsul mengatakan, dirinya sudah meminta warga untuk tinggal di rusun, namun warga menolaknya.
Warga menginginkan tempat tinggal yang dekat dengan tempat usaha mereka sebelumnya.
"Waktu obrolan dengan saya itu, dia (warga) meminta untuk tempat berusaha kembali, waktu itu sudah saya tawarkan juga ke rusun," katanya.
Ia kembali menegaskan, warga tidak menginginkan rusun sebagai pengganti tempat tinggal mereka, tapi warga menginginkan, tempat usaha mereka kembali.
"Jadi yang dibutuhkan bukan rusun, yang dibutuhkan tempat usaha," lanjut Syamsul.
Warga mengaku belum meninggalkan lokasi, karena merasa pemerintah belum menyediakan tempat tinggal yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Warga yang terkena dampak penggusuran, Tia mengaku dirinya hanya bisa meratapi nasib rumahnya yang sudah dibongkar.
"Kegiatannya ya gimana mbak, sudah tidak ada tempat ya diam saja, meratapi nasib tempat yang sudah dibongkar begini," ungkapnya.
Tia mengatakan, hanya bisa mendirikan tenda untuk tempatnya tidur.
"Ya tidurnya seadanya, mendirikan tenda, gubuk kaya gini," katanya.
Anak-anak Tia tidak bisa berangkat sekolah setelah penggusuran, karena peralatan sekolah seperti sepatu dan seragam tidak bisa ditemukan di reruntuhan bangunan.
"Anak-anak semenjak dibongkar ya tidak sekolah, tidak masuk, karena sepatu dimana, seragamnya dimana gitu, jadinya nggak sekolah," ungkapnya.
Dirinya mengaku sudah tidak ada tempat tinggal lagi, terutama tempat untuk berteduh.
"Nggak ada lagi tempat berteduh, ya begini saja tidak ada tempat tinggal," ujar Tia.
(Tribunnews.com/Nuryanti)