Publik Lebih Takut Berbicara Politik di Era Presiden Jokowi? Berikut Hasil Survei LSI
LSI mengatakan jika ada gejala menurunnya indikator kebebasaan sipil salah satunya kebebasan berekspresi di era pemerintahan Presiden Jokowi
TRIBUNNEWS.COM - Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan mengatakan jika ada gejala menurunnya indikator kebebasaan sipil.
Satu di antaranya kebebasan berekspresi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal ini dijelaskan Djayadi menurut data LSI di bulan Juni 2019 yang dibandingkan dengan data September 2019.
Menurutnya, selain menurunnya indikator kebebasaan sipil, ada peningkatan sikap intolerenansi di era pemerintahan Presiden Jokowi.
"Kita peroleh satu sisi ada peningkatan intolerenansi"
"Bisa kita lihat adalah misalnya meningkatnyan politik identitas dan sebagainya," ujarnya saat diundang dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi tvOne, Selasa (05/11/2019).
Baca: Solusi Mengatasi Kerontokan pada Rambut: Gunakan Teh Hijau Hingga Minyak Rosemary
Dalam data yang dirilis LSI itu, sebanyak 57 lebih persen mengatakan bebas, namun 43 persen yang lain mengatakan takut untuk berekspresi di tahun 2019.

Jika dibandingkan di tahun 2014 ketakutan masyarakat hanya sebesar 24 persen, persentase ini meningkat signifikan sebesar 14 persen.
"Saya kira yang perlu menjadi perhatian dari pemerintah ada gejala masyarakat lebih takut," tandas Djayadi.
Pria berkacamata ini menjelaskan lebih lanjut, ketakutan masyarakat yang dimaksud bukan berekspresi secara umum.
Melainkan ekspresi bicara yang berunsur politik yang menjadi ketakutan masyarakat.
Baca: Chord Lagu Satu Hati Sampai Mati - Nella Kharisma feat Fery, serta Lirik Lagu, Bisa Download Di Sini
"Ini bukan ekpresi secara umum, tapi bicara politik, kalau bicara yang lain tidak ada masalah," lanjutnya.
Menurut Djayadi, ketakutan masyarakat berhubungan dengan peristiwa yang terjadi sejak Indonesia merayakan pesta demokrasi hingga peristiwa terakhir demo mahasiswa.
"Terkait dengan peristiwa mutahir pilpres kemudian peristiwa demonstrasi dan kekerasan pada 21-22 Mei," ungkapnya.
Djayadi mencontohkan ketakutan tersebut seperti bicara politik yang bisa menyingung lawan politik atau pihak penguasa.
Baca: Update Harga HP Samsung November 2019, di Bawah Rp 5 Jutaan Beserta Spesifikasinya
"Lawan kemudian mengintimidasi atau sebaliknya"
"Bisa juga takut bicara politik itu misalnya dianggap menyinggung pihak penguasa atau pemerintah," katanya.
Juga muncul rasa kekhawatiran soal anggapan diperlakukan semena-mena oleh aparat.
Kehadiran Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) juga Djayadi lihat ikut menyumbang kenaikan angka ketakutan masyarakat berbicara politik.
"Udang-udang cukup keras dilaksanakan. Dengan UU ITE banyak orang sudah ditangkap," ungkap pria berkacamata ini.
Komentar Politisi PDI Perjuangan

Politisi PDI Perjuangan, Andreas Pareira mempertanyakan hasil survei yang dilakukan LSI tersebut.
Menurutnya, harus ada penjelasan lebih lanjut ketakutan masyarakat untuk berbicara politik disebabkan oleh hal apa.
"Ini harus diikuti pertanyaan lanjutan,"
"Apakah mereka takut, atau mereka enggan," ujar Andreas.
Andreas melanjutkan, ada kemungkinan ketakutan masyarakat untuk berbicara politik disebabkan oleh rasa kejenuhan di dalam masyarakat.
Baca: Harga HP Oppo Bulan November 2019, Mulai dari Rp 2 Jutaan Dapat Seri Unggulan, Cek Spesifikasinya
"Ada kejenuhan dalam bericara. Ah ngapain gua bicara," tandasnya.
Pria kelahiran 31 Mei 1964 ini mengingatkan kepada masyarakat jika kebebasan dalam mengemukakan pendapat harus diikuti dengan rasa tanggung jawab.
"Freedhom speach, itu berekspresi harus diikuti dengan tanggung jawab," lanjut Andreas.
Menuturnya dengan tanggung jawab membuat kebebasan dalam berbicara menjadi penyeimbang prinsip demokrasi yang menaungi kebebasan berbicara tersebut.
Peraturan perundang-undangan juga mengambil peran dalam menjaga keseimbangan.
"Disitu harus ada keseimbangan," tandas Andreas. (*)
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)