Seleksi Pimpinan KPK
Calon Pimpinan KPK Tak Mesti dari Kepolisian Atau Kejaksaan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut bakal memasuki masa kritis berkaitan dengan proses seleksi komisioner.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut bakal memasuki masa kritis berkaitan dengan proses seleksi komisioner.
Kurnia Ramadhana dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan bahwa beberapa waktu lalu terdapat draft surat yang memuat nama-nama petinggi institusi penegak hukum yang kabarnya akan dicalonkan sebagai pimpinan KPK.
Untuk itu maka ada beberapa catatan serius yang rasanya harus dipertimbangkan matang-matang oleh pansel (panitia seleksi) dalam menjaring calon pimpinan (capim) KPK.
“Pertama, tidak ada kewajiban dalam peraturan perundang-undangan manapun yang menyebutkan bahwa pimpinan KPK mesti berasal dari instansi penegak hukum tertentu. Isu ini rasanya selalu mengemuka tiap kali komisioner lembaga antirasuah itu akan berganti.
Ini harus direspons dengan serius, karena bagaimanapun rekam jejak para penegak hukum juga tidak terlalu baik di mata publik dalam konteks pemberantasan korupsi,” kata Kurnia kepada wartawan, Minggu (23/6/2019).
Baca: Pengamen Bakar Kios Sepatu dan Sendal, Motifnya Hanya Iseng
Baca: Festival Damai Digelar, Ribuan Orang Sepakat Jaga Persatuan dalam Keberagaman
Baca: Identitas 6 Korban Tewas Akibat Kecelakaan Bus Rosalia Indah Vs Avanza di Semarang
Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada akhir tahun lalu merilis data bahwa lembaga yang paling berpotensi melakukan pungutan liar dalam pelayanan birokrasi adalah kepolisian.
Selain itu untuk kejaksaan berada di urutan bawah dalam hal tingkat kepercayaan publik.
Karena itu, Kurnia berujar, Kapolri serta Jaksa Agung menjadikan hasil survei ini sebagai prioritas, bukan justru berbondong-bondong mengirimkan wakil terbaiknya untuk menjadi pimpinan KPK.
Selain itu, kinerja dari beberapa wakil kepolisian di KPK pun dianggap tidak terlalu memuaskan, bahkan dapat dikatakan mengecewakan.
Ambil contoh pada kasus Aris Budiman (mantan Direktur Penyidikan) yang tiba-tiba mendatangi Panitia Angket bentukan DPR.
Padahal saat itu yang bersangkutan tidak mendapatkan izin dari Pimpinan KPK.
Selain itu ada Roland dan Harun (mantan penyidik) yang diduga merusak barang bukti perkara korupsi yang sedang ditangani oleh KPK.
Tak hanya itu, Firli (Deputi Penindakan) diketahui bertemu dengan salah satu kepala daerah yang diduga terlibat dalam sebuah kasus yang sedang dalam tahap penyelidikan di komisi antirasuah itu.
Atas dasar itu, menurut Kurnia, ICW menolak keberadaan unsur penegak hukum tertentu menduduki jabatan tertinggi di KPK.
“Sederhananya, bagaimana publik akan percaya jika kelak ia menjadi pimpinan KPK akan serius memberantas korupsi ketika salah satu pelaku berasal dari lembaganya terdahulu,” ujarnya.
Kedua, kata Kurnia, saat ini KPK sedang menangani kasus korupsi dengan skala politik dan nilai kerugian negara yang sangat besar.
Untuk itu maka pansel capim KPK mempunyai kewajiban agar pimpinan KPK ke depan tidak berupaya untuk menghambat penanganan beberapa kasus tersebut.
Ambil contoh saja pada kasus korupsi e-KTP. Dalam dakwaan Jaksa KPK untuk Irman dan Sugiharto disebutkan secara jelas adanya keterlibatan serta aliran dana ke puluhan politisi.
Tak hanya itu, KPK juga sedang menangani kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang mana diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun.
Ketiga, setiap orang yang mendaftar sebagai pimpinan KPK harus mundur dari institusinya terdahulu.
Hal ini menurutnya penting, mengingat Pasal 3 UU KPK telah secara gamblang menyebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Hal ini sekaligus menghindari potensi loyalitas ganda ketika memimpin lembaga antikorupsi itu.
“Narasi ini harus dipahami oleh publik, agar nantinya proses seleksi Pimpinan KPK kedepan akan menghasilkan figur-figur berintegritas yang dapat dipercaya memimpin lembaga anti korupsi selama empat tahun ke depan,” tegasnya.