Jumat, 3 Oktober 2025

Eva Sundari: Pendidikan Pancasila untuk Mewujudkan Generasi Emas

Satu di antara keunggulan Pancasila dibanding ideologi manapun adalah sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Penulis: Chaerul Umam
Ilham Rian Pratama/Tribunnews.com
Eva Kusuma Sundari 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Satu di antara keunggulan Pancasila dibanding ideologi manapun adalah sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sila ini menegaskan negara hadir untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap warga sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 UUD 1945.

Sila pertama ini juga menegaskan bahwa negara bukan berdasar pada satu agama tertentu.

Negara memberi ruang yang sama bagi semua agama dan keyakinan yang jumlahnya di Indonesia bisa puluhan bahkan ratusan.

"Artinya, pelayanan dan perlindungan negara bukan kepada umat tetapi terutama kepada individu, semua harus terlayani baik mayoritas maupun minoritas," ujar Ketua Kaukus Pancasila DPR RI, Eva Kusuma Sundari melalui keterangan tertulis, Rabu (28/11/2018).

Bung Karno sejak awal mengingatkan bahwa beragama harus berbudaya, sehingga beragama tidak boleh egois misalnya merasa superior dan merendahkan agama dan keyakinan lain.

Baca: Update 12 Instansi Pusat yang Akan Segera Umumkan Hasil SKD CPNS 2018, Cek di Sini

"Ada pesan terkenal dari Bung Karno, jika jadi muslim jangan jadi Arab, jika Hindu jangan jadi India, jika Nasrani jangan jadi Israel. Tetap menjadi Indonesia yang berkepribadian Pancasila yaitu toleran," ucap Anggota Komisi XI DPR RI itu.

Jauh sebelumnya, Mpu Tantular sudah menuliskan konsep kebebasan beragama dalam buku Sutasoma, Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanna Dharma Mangrwa. Hindu Syiwa dan Budha diposisikan setara.

Majapahit mementingkan spiritualitas yang mempersatukan 2 umat agama sehingga Majapahit mampu menjadi imperium dunia pada zamannya.

Lebih lanjut, legislator PDI Perjuangan itu mengatakan Pancasila merupakan jawaban masa depan bagi generasi bangsa Indonesia.

Memasuki Revolusi Teknologi 4.0 maka pendidikan karakter sejak PAUD hingga SMA adalah masa-masa emas bagi menyiapkan peserta didik untuk menjadi Generasi Emas.

"Yaitu, generasi yang berkepribadian Pancasila yang punya sekaligus 3 macam kecerdasan yaitu IQ (intellectual), EQ (emotional) dan SQ (spiritual) plus menguasai teknologi," beber Eva.

Generasi emas adalah generasi yang diharapkan menjadi perintis perubahan dalam membentuk kehidupan dan peradaban bangsa yang lebih baik.

Generasi emas yang dicita-citakan ini adalah generasi yang bermodalkan kecerdasan komprehensif, yakni produktif, inovatif, interaksi sosial yang baik, dan berperadaban unggul.

"Inti Pancasila berupa gotong-royong memerlukan kualifikasi kepribadian yang terbuka pikirannya (open mind), ketulusan (open heart) dan kehendak untuk berkemajuan (open will)," terangnya.

"Lima sila dari Pancasila apabila menjadi roh pendidikan dan pengajaran akan membentuk kepribadian yang mampu menjadi pemenang dari Revolusi Industri 4.0 yang sudah berada di sekitar kita," imbuhnya.

Konsensus atas strategi Pembangunan Berkelanjutan yang berisi pertumbuhan ekonomi berkeadilan, pengentasan kemiskinan dan penyelamatan lingkungan berikut penetapan target-target SDGs (Sustainable Development Goals) oleh tiap-tiap negara adalah bentuk gotong royong di tingkat global.

Sedangkan di Indonesia, seorang muda bernama Nabiel Makarim mampu menyerap nilai-nilai gotong royong dalam mendirikan perusahaan pelayanan Go-Jek.

"Dalam gotong royong yang berkarakter inklusif (merangkul semua) bisa berlangsung karena perbedaan suku, agama, ras dan golongan (SARA) dijadikan modal bekerja. Keberagaman bukan saja anugerah Tuhan tetapi sekaligus kekuatan dalam mencapai kemajuan karena keberagaman menjanjikan inovasi, kreatifitas, dan daya juang yang tinggi," kata Eva.

"Kita pelajari bagaimana tim piala dunia Perancis yang berisi pemain dengan berbagai latar belakang kultur dapat mengalahkan tim Kroasi yang sama-sama punya teknik setinggi Tim Perancis. Keberagaman bisa produktif jika ada saling hormat dan saling menerima perbedaan-perbedaan. Tidak ada cara yang lebih baik untuk membangunnya kecuali dengan berbaur, membaur dan dibaurkan," lanjutnya.

Oleh karena itu maka, strategi pembauran harus segera diwujudkan dalam pendidikan dan pengajaran yang berisi penghormatan atas keberagaman.

Sikap yang terbuka pada keragaman perlu diajarkan, dipraktekkan, dibiasakan melalui pelembagaan pembauran di lembaga-lembaga keluarga, pendidikan, sosial, publik dan negara.

Di negara-negara Skandinavia (Swedia, Denmark, Norway, Eslandia) yang indeks pembangunan manusianya tertinggi di dunia melembagakan pembauran melalui pendidikan anti diskriminasi.

Sejak PAUD hingga PT pembauran diwajibkan sehingga negara-negara tersebut dikenal bukan saja sebagai wilayah paling makmur tetapi juga zero kekerasan termasuk KDRT.

"Pancasila mempunyai kekuatan untuk mengantar Indonesia melebihi negara-negara Skandinavia tersebut. Pancasila sudah terbukti sakti melawan Balkanisasi, ektrimisme agama dan melawan kemiskinan. Ia sebagai meja statis sekaligus bintang penuntun. Pancasila sebagai sumber inspirasi sekaligus orientasi kita dalam menciptakan kemajuan-kemajuan," jelasnya.

Pancasila sebagai ideologi nasionalis-religius mementingkan spiritualitas yang merupakan inti semua agama. Iamengajak manusia berpikir dan merenung (transendental).

Pancasila mengandung daya pembebasan (liberasi) karena ia anti keterbelakangan, kebodohan, dan penjajahan.

Hal ini karena Pancasila berpusat pada harkat dan martabat kemanusiaan Manusia bukan melayani pasar dan materi.

Pembauran dalam pendidikan sudah dijalankan oleh sejumlah sekolah pelopor seperti SMP Petra Surabaya yang berkunjung ke satu Madrasah Tsanawiyah di Jombang, Jawa Timur.

Para siswi kedua sekolah saling mengekspresikan empati bahkan ada yang berpelukan di ujung perejumpaan.

Upaya progesif juga dilakukan SMA Siwalima Ambon dan Yayasan Iskandarsyah Medan yang membuat kebijakan pembauran lintas iman, etnis dan golongan dalam penyelenggaraan pendidikan hingga pembauran untuk pengaturan teman sekamar dalam asrama sekolah.

Pembauran yang lebih radikal dilakukan Al Nurhidayat yang mendirikan program Kelas Multikultural di Pangandaran.

Di SMK Bakti Karya Parigi yang dipimpinnya, Ai membaurkan para siswa lintas SARA dari daerah-daerah konflik (termasuk konflik agama) dari seluruh nusantara.

Ia juga menggratiskan seluruh layanan mulai dari tiket pesawat, asrama, biaya sekolah yang diperoleh berkat keterlibatan anak-anak muda untuk siswa yang benar-benar tak sanggup menembus akses pendidikan.

Selain berpihak pada kalangan marjinal, sekolah ini menawarkan pendidikan yang baru dan terintegrasi dengan masyarakat setempat melalui diselenggarakannya Kampung Nusantara.

"Ia percaya bahwa saleh pribadi harus juga saleh sosial, agar menjadi insan yang sempurna agar mampu berperan bagi kemajuan bangsa dan negara," pungkasnya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved