Selasa, 7 Oktober 2025

Pemilu 2019

ICW Pertanyakan Sikap Menkumham Tolak Teken PKPU Larangan Mantan Napi Korupsi Jadi Caleg

Karena selama ini penolakan paling kencang atas PKPU larangan Koruptor Nyaleg berasal dari partai.

Editor: Johnson Simanjuntak
Theresia Felisiani/Tribunnews.com
Donal Fariz 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik sikap Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly terkait penolakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang dalam ketentuan Pasal 7 (h) PKPU mengaturan larangan Mantaran Narapidana kasus korupsi dan serious crime lainnya untuk menjadi Calon Anggota Legislatif (Caleg).

Menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Divisi Korupsi Politik Donal Fariz, Menteri Hukum dan HAM harusnya memisahkan kepentingan partai dengan kepentingan pemerintah secara kelembagaan.

Karena selama ini penolakan paling kencang atas PKPU larangan Koruptor Nyaleg berasal dari partai.

"Namun menjadi aneh ketika Menteri ikut-ikutan menolak karena Menteri bukan lah orang yang sama sekali dirugikan dengan aturan PKPU tersebut," ujar Donal Fariz dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (5/6/2018).

Oleh karenanya, menurut ICW, pernyataan penolakan PKPU tersebut sangat politis dan perlu dipertanyakan apakah suara Pemerintah atau mewakili suara partai?

"Harusnya menteri bersikap netral dan tidak perlu berpolemik atas aturan tersebut. Jika ada pihak-pihak yang berkeberatan, seyogyanya menempuh jalur hukum melalui Judicial Review ke Mahkamah Agung," jelasnya.

Lebih jauh ia menjelaskan, Menkumham tidak berwenang menolak PKPU.

Dalam tiga Ketentuan Undang-Undang 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perpres 87 tahun 2014 (Peraturan Pelaksana), hingga Permenkumham Nomor 31 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengundangan, tidak ada satupun pasal yang secara eksplisit mengatur kewenangan Menteri untuk menolak pengundangan sebuah aturan seperti PKPU.

Kewenangan pengundangan harus dilakukan apabila semua dokumen dan naskah sudah dilengkapi.

Sehingga penolakan Menkumham, Yasonna Laoly adalah sesuatu yang tidak berdasar.

"Apalagi substansi peraturan yang diundangkan adalah tanggung jawab instansi pemrakarsa, yakni KPU," tegasnya.

Untuk itu imbuhnya, pernyataan Menkumham, memberikan kesan Pemerintah tidak setuju dengan upaya membangun demokrasi bersih.

Ia pun menjelaskan, demokrasi yang berkualitas turut ditentukan oleh peserta (kontestan) yang berintegritas dan berkualitas.

Karenanya, maksud dari tujuan PKPU tersebut bisa dinilai sebagai upaya (effort) KPU dalam membangun demokrasi berintegritas dengan cara membatasi akses mantan narapidana kasus korupsi untuk menjadi Caleg.

Hal ini sebenarnya merupakan tugas partai. Akan tetapi selalu diabaikan karena partai sangat pragmatis dengan kepentingannya.

"Manakala menteri turut menolaknya, akan muncul kesan seolah pemerintah tidak setuju dengan gagasan mendorong demokrasi bersih dan berintegritas dengan membatasi orang yang memiliki masalah hukum masa lalu untuk maju menjadi wakil rakyat," ucapnya.

Namun demikian, ICW mendorong KPU terus tetap untuk mempertahankan PKPU larangan Napi Koruptor nyaleg.

"Langkah ini harus didukung dalam membangun demokrasi yang bersih dan berintegritas," tegasnya.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly menegaskan bahwa dirinya tidak akan menandatangani draf PKPU yang mengatur larangan mantan narapidana kasus korupsi untuk maju dalam Pemilu Legislatif 2019.

Menurut Yasonna, PKPU tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).

"Jadi nanti jangan dipaksa saya menandatangani sesuatu yang bertentangan dengan undang-undang," ujar Yasonna saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/6/2018).

Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Pemilu menyatakan, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih, boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.

Dengan demikian mantan narapidana korupsi, menurut UU Pemilu, dapat mencalonkan diri sebagai caleg.

Yasonna mengatakan, KPU tidak memiliki kewenangan untuk menghilangkan hak politik seseorang selama tidak diatur dalam undang-undang.

"Menghilangkan hak orang itu tidak ada kaitannya dengan PKPU, tidak kewenangan KPU. Yang dapat melakukan itu adalah undang-undang dan keputusan hakim. Itu saja," ucapnya.

Selain itu, lanjut Yasonna, peraturan KPU tersebut tidak sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Putusan MK tahun 2016 terkait uji materi Undang-Undang Nomor Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) menyebut, terpidana atau terdakwa masih boleh mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah selama tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 5 tahun penjara.

"Itu (draf PKPU) bertentangan dengan UU. Bahkan tidak sejalan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi," kata Yasonna.

Diketahui, niat KPU melarang mantan napi kasus korupsi untuk menjadi caleg ini sebelumnya mendapat penolakan dari DPR, Kementerian Dalam Negeri, hingga Bawaslu.

Bahkan kini, penolakan tersebut juga datang dari Presiden Joko Widodo.

Namun, KPU menegaskan akan tetap membuat aturan tersebut dan memasukkannya dalam Peraturan KPU tentang pencalonan anggota DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota 2019.(*)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved