Kamis, 2 Oktober 2025

Korupsi KTP Elektronik

Ancaman Pidana Maksimal 12 Tahun, Berapa Tuntutan Jaksa KPK Terhadap Miryam?

Politikus Partai Hanura itu saat persidangan terdakwa Irman dan Sugiharto, kemudian mencabut seluruh isi BAP di KPK.

Editor: Hendra Gunawan
Tribunnews.com/ Eri Komar Sinaga
Terdakwa Memberikan Keterangan tidak benar, Miryam S Haryani 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Terdakwa Anggota DPR RI Miryam S Haryani akan menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (23/10/2017).

Miryam adalah terdakwa memberikan keterangan tidak benar saat penyidikan perkara dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2012 di Komisi Pemberantasan Korupsi.

Politikus Partai Hanura itu saat persidangan terdakwa Irman dan Sugiharto, kemudian mencabut seluruh isi BAP di KPK. Miryam beralasan BAP itu tidak benar karena dia dalam tekanan, tidak nyaman dan diancam penyidik KPK.

Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi sebelumnya telah mengahdirkan berbagai saksi di persidangan.

Ahli Psikologi forensik Reni Kusumawardani mengatakan Miryam S Haryani tidak mengalami tekanan saat dimintai keterangannya. Reni mengaku sangat yakin itu usai menganalisis hasil video pemeriksaan Miryam.

"Hasilnya tidak dijumpai secara signifikan tekanan yang dilakukan penyidik selama proses penyidikan," kata Reni saat sidang di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (18/9/2017).

Reni Kusumawardani menuturkan pihaknya telah melakukan observasi terstruktur terhadap tiga video pemeriksaan Miryam S. Hasil pendalaman tim psikologi forensik, kata Reni, memang menunjukkan ada perasaan stres ataupun perasaan tertekan yang dialami Miryam dalam proses penyidikan di KPK.

Namun sikap tertekan tersebut adalah sebagai stimulus atau pemicu. Perasaan tertekan tersebut disebabkan oleh hal-hal yang tidak terjadi dalam proses penyidikan di KPK.

"Jadi tertekan hal-hal lain yang bukan terjadi pada saat itu. Ada faktor-faktor lain," beber ketua Asosiasi Psikologi Forensik itu.

Sementara itu, ahli hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman Noor Aziz Said juga berpendapat tidak ada paksaan Miryam S Haryani saat diperiksa di tahap penyidik KPK.

Noor berpendapat demikian karena Miryam usai dimintai keterangannya membaca kembali hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Setelah baca, Miryam kemudian membubuhkan tanda tangannya.

"Penyidik menyerakan itu dibaca kembali sebelum ditandatangani. Bahkan ditanya apa ada yang keliru atau ditambahkan sebelum tanda tangan. Malah itu bukan daya paksa. Diberikan waktu untuk membaca kembali. Kalau memang seperti itu enggak ada paksa," kata Noor saat diperiksa sebagai ahli di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (11/9/2017).

Noor mengatakan sesuai aturan, Pasal 48 KUHP memuat pengertian daya pasak (overmacht) adalah adanya paksaan untuk melakukan sesuatu sehingga orang yang disuruh itu berbuat tidak sesaui dengan kehendak bebas, namun mengikuti orang yang memaksa.

Menurut Noor, mengacu kepada keterangan penyidik KPK, maka tidak ada paksaan terhadap Miryam S Haryani. Noor menyimpulkannya terhadap tiga kali pemeriksaan Miryam di KPK.

"Menurut pendapat saya apabila megacu penyidik malah enggak ada daya paksa, absolut, relatif, maupun biasa," kata dia.

Pendapat serupa juga diungkapkan oleh penyidik yang memeriksa Miryam, Novel Baswedan. Melalui BAP Novel yang dibacakan jaksa di persidangan, Novel menatakan Miryam terungkap seluruh fakta-fakta tentang proyek e-KTP yang menyebabkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.

Novel mengungkapkan dirinya tiga kali memeriksa Miryam di tingkat penyidak bersama dengan penyidik Irwan Santoso. Pemeriksaan pertama pada 1 Desember 2016, kemudian 14 Desember 2016 dan 28 Januari 2017.

"Di luar dugaan saksi Miryam S Haryani menceritakan terhadap rekan-rekannya anggota DPR, kebanyakan komisi tiga dan pemanggilan saksi yang lainnya dan Saudara Miryam mengaku nantinya pemeriksaan di KPK akan diputar mentah akan membuat hal-hal yang tidak baik sehingga dia siap untuk bertahan dan memberikan keterangan tidak benar," kata jaksa KPK Kresno Wibowo saat membacakan BAP Nove Baswedan.

Miryam adalah terdakwa memberikan keterangan tidak benar di persidangan kasus dugaan korupsi e-KTP untuk terdakwa Irman dan Sugiharto. Miryam mengaku memberikan keterangan sesuai arahan penyidik KPK karena mengaku takut karena diancam.

Miryam didakwa Pasal 22 jo Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Pasa 22 memberikan ancaman pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan paling banyak Rp 600 juta.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved