Hak Angket KPK
KPK Tunggu Hasil Kajian Soal Pansus KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga kini belum mendapat undangan panggilan Panitia Khusus (Pansus) Angket KPK.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga kini belum mendapat undangan panggilan Panitia Khusus (Pansus) Angket KPK. Bahkan, KPK pun belum mendapat pemberitahuan bila parlemen membentuk Pansus hak angket KPK.
"Kami belum menerima pemberitahuan resmi dalam bentuk surat atau apapun soal keputusan terkait dengan Pansus," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, Jumat (9/6/2017).
Kendati belum mendapat pemberitahuan resmi, KPK memilih berinisiatif mencari tahu perihal keabsahan Pansus Angket KPK.
"Setelah kami selesai melakukan kajian, barulah kami ambil sikap atau keputusan. Apa yang dilakukan kedepan tentu akan disampaikan ke publik," kata Febri.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan memastikan KPK belum mengambil keputusan terkait panggilan Pansus Angket KPK. KPK memilih akan mengundang ahli hukum terkait panggilan Pansus Angket KPK.
"Kami akan mengundang beberapa masukan-masukan ahli nanti apa yang harus kami lakukan, jadi belum sampai datang atau tidak," kata Basaria saat memberikan keterangan di Gedung KPK, Jakarta Selatan.
Sementara Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho menilai, pembentukan Pansus Angket KPK sarat kepentingan.
Emerson yakin tujuan hak angket bukanlah dalam rangka memperbaiki KPK, melainkan justru melemahkan.
Hal ini dapat dilihat dari terpilihnya Politisi Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa sebagai Ketua Pansus. Sebab, nama Agun masuk ke dalam daftar orang yang diduga menerima uang proyek e-KTP.
"Jadi meskipun Pak Agun bilang tidak ada konflik kepentingan, justru yang terjadi ini adalah konflik kepentingan. Jadi niatnya ini bukan karena ingin memperbaiki KPK, tapi menurut saya mendelegitimasi KPK karena dia disebut menerima uang dari (kasus) e-KTP. Jadi agak sulit dia bersifat objektif," ujar Emerson.
Emerson berpendapat, sebaiknya pembentukan Pansus Angket KPK dibatalkan. Sebab jelas terihat banyak kepentingan, mulai dari proses pembentukannya hingga pemilihan ketuanya.
"Menurut saya, yang seperti ini harusnya dibubarin," kata Emerson.
Tujuh fraksi di DPR RI sudah mengirimkan nama perwakilan anggotanya ke Pansus Angket KPK. Total sudah ada 23 anggota DPR.
Hak angket ini dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Agun salah satu anggota DPR yang disebut menerima fee dari proyek pengadaan e-KTP. Ia disebut menerima duit sebesar satu juta dollar AS saat menjadi anggota Badan Anggaran DPR.
Pemberian uang tersebut dimaksudkan agar Komisi II dan Banggar DPR RI saat itu menyetujui anggaran untuk proyek pengadaan dan penerapan e-KTP.
Agun sudah diperiksa KPK dan dihadirkan dalam persidangan kasus e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Agun meyakini tak akan ada konflik kepentingan dalam pansus hak angket KPK sekalipun dirinya mendapatkan posisi ketua.
Menurut dia, ada perbedaan antara proses hukum dan proses politik.
Dalam konteks hukum, dirinya secara partisipatif memenuhi panggilan KPK jika dibutuhkan untuk memberikan keterangan.
Sedangkan dalam konteks politik, pemilihan dirinya sebagai ketua pansus juga merupakan hak anggota Dewan.
"Mari kita sama-sama jalankan mekanisme ini sesuai dengan koridor hukum, hukumnya konstitusi. Jadi enggak ada masalah," tutur Anggota Komisi III DPR itu.
Disamping itu, secara pribadi ia juga memiliki hak politik untuk menjadi ketua pansus. Agun menilai, tak ada yang spesial dari panitia khusus angket tersebut. (thf/kps)