Korupsi KTP Elektronik
Marzuki Alie Mengaku Bingung Diduga Terlibat Kasu e-KTP
Marzuki Alie, kembali melontarkan bantahan terkait keterlibatannya dalam kasus korupsi proyek e-KTP yang menimbulkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua DPR periode 2009-2014, Marzuki Alie, kembali melontarkan bantahan terkait keterlibatannya dalam kasus korupsi proyek e-KTP yang menimbulkan kerugian negara Rp 2,3 triliun.
"Kalau ditanya seberapa yakin saya tidak terlibat kasus e-KTP saya 100 persen yakin. Oleh karena itu saya melapor ke Bareskrim," tegasnya, saat ditemui di sela-sela diskusi Sindotrijaya, di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (11/3/2017).
Dalam surat dakwaan terhadap terdakwa Irman dan Sugiharto, disebutkan Marzuki Ali menerima aliran dana Rp 20 miliar.
Mantan Sekjen Partai Demokrat itu menyatakan ini melanjutkan meski kala itu menjabat Ketua DPR, ia sama sekali tidak ikut dalam perencanaan, penganggaran, sampai pelaksanaan.
"Saya betul-betul tidak ikut sama sekali. Tidak ikut komunikasi dengan siapapun, termasuk dengan terdakwa, maupun orang-orang yang disangkakan," tegasnya.
Ia juga menegaskan sama sekali belum pernah diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Marzuki Alie mengaku tidak mengenal terdakwa Irman (mantan Dirjen Dukcapil), terdakwa Sugiharto (mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan), dan Andi Agustinus alias Andi Narogong (pengusaha rekanan Kemendagri)
"Dalam persidangan perdana, terdakwa dua (Sugiharto) lapor kepada terdakwa satu (Irman). Lalu terdakwa satu menyetujui Andi Narogong akan membagikan uang. Saya itu tidak kenal dengan Irman, Sugiharto, dan Andi Narogong. Saya tidak pernah dihubungi mereka apalagi ikut lobi-lobi. Makanya saya juga bingung, kok nama saya disebut," ungkap Marzuki Ali.
Atas alasan itu ia melaporkan Irman, Sugiharto, dan Andi Narogong, ke Bareskrim Polri. Tuduhannya mencemarkan nama baiknya dan memfitnah.
"Jadi teman-teman yang namanya disebut mari kita lawan, melapor ke Bareskrim. Jangan hanya membantah, lawan perkataan Andi Narogong," tegasnya.
Ia mengaku siap apabila nantinya penyidik KPK maupun hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memanggil dirinya untuk memberikan keterangan.
Menurut Marzuki Alie sebagai warga negara yang baik ia akan hadir untuk memberikan klarifikasi. Untuk sementara ini, Marzuki Alie menyatakan memberikan waktu pada KPK untuk mengusut tuntas kasus megakorupsi tersebut.
"Kalau keterangan saya diperlukan untuk dimintai keterangan baik oleh KPK maupun oleh hakim saya siap," katanya.
Perlu perlindungan
Pengusutan kasus korupsi e-KTP yang melibatkan sejumlah tokoh besar tersebut perlu mendapat perlindungan dari pemerintah untuk menangkis serangan yang mungkin muncul.
Mantan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja menyatakan pimpinan KPK perlu melakukan silaturahmi kepada Presiden Joko Widodo dan pihak lain sebelum mengungkap semua pihak terkait korupsi e-KTP.
"Sosialisasi ke eksekutif itu perlu untuk cari perlindungan lembaga, agar wewenang dan tugas KPK tidak terganggulah," ujar Adnan, di Jakarta, Sabtu.
Perlindungan tersebut, menurut Adnan, dapat menangkal upaya pelemahan lembaga antirasuah tersebut melalui wacana revisi Undang-undang KPK. "Ada saja wacana wewenang KPK mau dilemahkan oleh legislatif, sehinga KPK (perlu) mendekat ke eksekutif," tutur Adnan.
Peneliti investigasi Indonesian Corruption Watch (ICW), Tama S Langkun, menyarankan penyidik KPK menerapkan prinsip kehati-hatian. Ini berkaca pada kekalahan KPK saat putusan Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Riau, yang menjatuhkan vonis bebas pada mantan anggota DPRD Riau, Suparman.
Dalam putusannya, majelis hakim yang dipimpin Rinaldi Triandiko menyatakan Suparman tidak terbukti menerima suap dari mantan Gubernur Riau, Anas Ma'mun, soal pengesahan RAPBDP Riau tahun anggaran 2014 dan RAPBD Riau 2015.
Sebelum putusan Suparman, ada terdakwa lain yang telah divonis bersalah dan dijatuhi hukuman. Di antaranya mantan anggota DPRD Riau, Ahmad Kirjauhari yang dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan penjara.
Dalam putusan pada Kirjauhari, ada nama Suparman dan mantan Ketua DPRD Riau, Johar Firdaus, sebagai pihak yang bersama-sama menerima suap dari Annas Ma'mun.
Pengadilan Tipikor Pekanbaru juga menjatuhkan hukuman lima tahun dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan penjara pada Johar Firdaus. Padahal Suparman dan Johar diajukan sebagai terdakwa dalam surat dakwaan yang sama.
Tama S Langkun menyatakan saat ini KPK masih menyusun konstruksi untuk memastikan ada kegiatan secara bersama-sama agar tidak lagi kalah di pengadilan.
"KPK saya yakin masih menyusun konstruksi pasti. Nanti ini akan jadi modal tambahan bagi KPK saat keputusan berkekuatan hukum tetap," tambahnya. (tribunnetwork/theresia felisiani/seno sulistiyono)