Rumit Kompensasi Korban Terorisme dan Kekerasan Perempuan dan Anak
Aturan tersebut tercantum dalam Undang-undang Terorisme Nomor 15 Tahun 2003 Pasal 36.
Penulis:
Rizal Bomantama
Editor:
Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai mekanisme kompensasi kepada korban terorisme serta kekerasan perempuan dan anak yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) rumit.
Hal itu disampaikan Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai dalam seminar "Konsolidasi Hukum untuk Memaksimalkan Pemenuhan Hak Korban Tindak Pidana" di Hotel Aryaduta, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (8/9/2016).
Aturan tersebut tercantum dalam Undang-undang Terorisme Nomor 15 Tahun 2003 Pasal 36.
Pasal itu menyebutkan korban akan mendapat kompensasi bila sudah diputuskan oleh pengadilan.
"Lalu bagaimana misal pelaku terorisme terbunuh di tempat? Kalau pelaku meninggal di tempat maka tidak perlu ada sidang. Kalau tidak ada sidang berarti korban tidak mendapat kompensasi," ujar Abdul Haris.
Oleh karena itu LPSK meminta DPR RI memperjelas bagian tersebut dalam revisi Undang-undang Terorisme.
Abdul Haris meminta ada penyederhanaan prosedur agar korban bisa lebih mudah mengakses biaya kompensasi tersebut.
Misalnya korban menerima biaya kompensasi setelah mendapatkan surat rekomendasi dari kepolisian.
Sebelum mengeluarkan surat rekomendasi, kepolisian melakukan survei lapangan.
"Yang jelas pemerintah harus peduli pada korban terorisme. Karena sebenarnya yang menjadi sasaran terorisme adalah negara, bukan masyarakat sipil."
"Begitu pula pemerintah harus melindungi korban pelecehan seksual pada perempuan dan anak karena mereka adalah warga dan generasi penerus Indonesia," katanya.