Selasa, 30 September 2025

Putusan IPT 1965 Rawan Intervensi Jika Pemerintah Tak Kompak

Presiden Jokowi menyatakan dengan tegasi tidak akan pernah meminta maaf kepada PKI.

zoom-inlihat foto Putusan IPT 1965 Rawan Intervensi Jika Pemerintah Tak Kompak
NET
Lambang Komunis.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi I DPR Hanafi Rais mendukunga sikap pemerintah menolak putusan pengadilan International People's Tribunal (IPT) 1965. Menurutnya, IPT tidak memiliki legalitas dan legitimasi memvonis sebuah negara apalagi memaksa untuk taat.

"Kedaulatan hukum milik Indonesia, tidak bisa diintervensi oleh asing," ujar Hanafi, Minggu (24/7/2016).

Ia menilai putusan tersebut tidak berpengaruh secara politis, asalkam pemerintah mulai Presiden, Menkopolhukkam, Menlu, Polri dan TNI kompak dalam bersikap. Maka, hal tersebut tidak berpengaruh terhadap keputusan IPT.

"Tapi kalau dari pihak pemerintah sendiri ada yang memberi ruang untuk menjalankan rekomendasi IPT untuk minta maaf, ya itu yang bikin rawan intervensi. Rawan intervensi asing itu tadi karena pemerintahnya tidak kompak," katanya.

Politikus PAN itu menilai kasus 1965 sudah selesai. Apalagi, lanjutnya, Presiden Jokowi menyatakan dengan tegasi tidak akan pernah meminta maaf kepada PKI.

"Kita dukung sikap Presiden yang tegas soal tidak akan minta maaf ini," ujarnya.

Diketahui, dalam putusan pengadilan International People's Tribunal (IPT) 1965, Ketua Pengadilan IPT 1965, Zaac Yacoob mengatakan bahwa Indonesia telah terbukti melakukan pelanggaran konvensi Genosida kepada masyarakat tertentu.

Dalam konteks yang dikutip dari salinan putusan pengadilan, masyarakat tertentu yaitu anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), serta loyalis presiden Soekarno dan juga anggota Partai Nasional Indonesia (PNI).

“Majelis Hakim pada akhir sidang tanggal 13 November 2015 menegaskan, bahwa telah dipastikan, dalam periode tersebut Negara Indonesia melalui tentara dan polisi, telah terlibat dan mendorong terjadinya pelbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia berat ini secara sistematis dan menyeluruh,” ujar Zaac, Rabu (20/7/2016).

Majelis Hakim yakin bahwa semua ini dilakukan demi tujuan politik untuk membasmi PKI, dan mereka yang didakwa anggota atau simpatisannya, dan lebih luas lagi pendukung Soekarno, serikat buruh, dan serikat guru.
Termasuk di dalamnya kelompok minoritas Tionghoa.

"Pertimbangan Jaksa tentang tindakan ini pun menggambarkan bagaimana masyarakat Indonesia, dengan sadar dan mau, telah dibentuk kembali oleh teror dan pembasmian," lanjutnya.

Fakta-fakta yang disampaikan jaksa di hadapan Tribunal, menurut hakim, masuk dalam tindakan-tindakan yang tergolong dalam pelanggaran Konvensi Genosida 1948.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved