Selasa, 30 September 2025

Prahara Partai Golkar

Golkar Tetap Pungut Rp 1 M, KPK: Yang Penting Kami Sudah Mengingatkan!

Pihak KPK menyarankan sekaligus merekomendasikan ke mereka agar hal itu tidak dilakukan karena termasuk praktik politik uang

Penulis: Abdul Qodir
Editor: Hendra Gunawan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak bisa berbuat banyak setelah saran sekaligus rekomendasinya agar Partai Golkar tidak melakukan pungutan iuran Rp 1 miliar ke calon ketua umum yang bertarung dalam Munaslub, tidak didengarkan.

"Yang penting KPK sudah mengingatkan," kata Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, melalui pesan singkat, Jakarta, Jumat (6/5/2016).

Sebelumnya, utusan Partai Golkar yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komite Etik Munaslub, Lawrence Siburian menemui pimpinan KPK.

Mereka berskonsultasi dan meminta masukan perihal rencana untuk meminta dana Rp 1 miliar ke setiap caketum yang akan bertarung memperebutkan kursi Golkar 1 dalam Munaslub 2016.

Lantas, pihak KPK menyarankan sekaligus merekomendasikan ke mereka agar hal itu tidak dilakukan karena termasuk praktik politik uang yang nyata dan bisa masuk kategori gratifikasi hingga yang terburuk adalah suap.

"Ingat, bahwa sebagian besar calon Ketua Umum itu adalah 'pejabat publik', anggota DPR, Ketua DPR, Gubernur dan lain-lain," tandasnya.

"Jadi, silakan kalau mereka tidak mau ikut rekomendasi KPK," sambungnya.

Secara pribadi, Syarif kembali menyarankan agar para caketum menjual atau menyumbang ide atau gagasan brilian untuk perbaikan Partai Golkar, bukan dengan uang miliaran rupiah yang sudah jelas bagian politik uang.

Ia kembali mengajak para politikus parpol tersebut untuk mengubah kegilaan menjadi kewarasan.

"Lagipula, mana ada di dunia ini, kalau mau jadi ketua partai harus menyumbang Rp1 M."

Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur pengertian gratifikasi dalam arti luas. Yakni, meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Gratifikasi tersebut, baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan dilakukan dengan menggunakan sarana atau tanpa sarana elektronik.

Ketentuan tersebut tidak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya ke KPK dalam waktu 30 hari sejak diterima.

Tidak semua gratifikasi bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur pasal 12B saja, yakni yang terkait dengan jabatan serta bertentangan dengan tugas dan fungsi.

Dan belum ada batasan pemberian gratifikasi. Namun, usulan pemerintah pada 2005, yakni di atas Rp 250 ribu.

Pegawai negeri atau Penyelenggara Negara yang memberikan atau menerima gratifikasi dapat dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Setiap gratifikasi kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Suap, penekanannya pada keaktifan masyarakat/pengguna jasa/rekanan kepada pejabat publik untuk mempengaruhi keputusan yang berlawanan tugas dan fungsinya (conflict of interest).

Penyelenggara negara yang dimaksud diatur dalam UU No 28 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Yakni pejabat negara di Lembaga Tinggi Negara (Presiden/Wakil Presiden, DPR/DPRD, DPD, MPR, MA, BPK), menteri, gubernur, hakim, pejabat negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, di antaranya duta besar, wakil gubernur, Bupati/Walikota dan wakilnya, pimpinan BUMN/BUMD, TNI/Polri hingga para pegawai kementerian/lembaga dan pemda.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved