Selasa, 30 September 2025

Mempersulit Calon Independen Sangat Tak Elegan Karena Tunjukkan Ketakutan Partai

Menaikkan syarat calon independen untuk mempersulit calon independen untuk mengikuti Pilkada 2017 sangat tidak elegan

Editor: Sugiyarto
Harian Warta Kota/henry lopulalan
SURVEY PILKADA - Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dalam rilis hasil survey Pra-Pilkada DKI Calon Independen vis-a-vis Calon Partai di kantor CSIS, Graha Pakarti Centre, Jl Tanah Abang III, Jakarta Pusat, Senin (25/1/2016) .Hasil survey itu sebanyak 45 persen publik di DKI masih memilih Ahok. Sedangkan di urutan kedua yaitu Ridwan Kamil yang berada pada angka 15,75 persen. Dan pada posisi ke 3, berada di bawah 10 persen yaitu Tri Rismaharini yang mendapatkan angka sebanyak 7,75 persen. Warta Kota/henry lopulalan 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-- Menaikkan syarat calon independen untuk mempersulit calon independen untuk mengikuti Pilkada 2017 sangat tidak elegan karena menampilkan ketakutan partai yang tidak memiliki kader yang layak. 

Padahal, Peneliti Pemilu dari Sinaksak Center, Osbin Samosir ingatkan, pilkada adalah pesta rakyat yang seluas-luasnya rakyat diberi kesempatan untuk memilih kepala daerahnya. 

Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia ini menegaskan, hak calon independen untuk maju dalam pilkada.

Karena itu harus dibuka seluas-luasnya di tengah semakin merosotnya kepercayaan masyarakat kepada pasangan calon yang diusung oleh partai politik. 

Dia melihat fenomena petahana Cagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok maju melalui jalur independen mendapat dukungan luas dari masyarakat justru harus menjadi koreksi bagi partai politik. 

Turunkan Persyaratan

Karenanya dia menilai, DPR RI sangat tidak bijak jika mengusulkan syarat pencalonan yang memberatkan calon independen hanya ketika semakin bertumbuh calon independen yang mampu memikat hati publik.

Jika partai-partai merasa syarat pencalonan untuk partai politik dianggap terlalu berat, sebaiknya diturunkan saja persentase persyaratannya.

"Bukan malah memperberat persyaratan bagi calon independen," jelasnya.

 Misalnya, dia contohkan, semua partai yang memiliki anggota legislative di DPR RI  memiliki hak untuk memajukan satu calon untuk menjadi peserta pilkada.

Sehingga ada ada banya calon dari partai dan dari unsur independen, lalu biarkan banyak calon kepala daerah yang bertanding secara sehat. 

Semakin banyak calon maka akan semakin banyak pilihan warga. “Yang memberi penilain atas calon yang paling pantas menjadi gubernur atau bupati/walikota akan ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Itu jauh lebih fair daripada justru mempersulit calon independen,” kata Osbin Samosir.

Anggota Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) ini juga menilai perlu memahami sejarah awal lahirnya calon independen. Dijelaskan Pemaknaan demokrasi adalah memberikan seluas-luasnya kesempatan kepada seluruh warga untuk memilih pemimpin terbaik diantara mereka. 

Dalam demokrasi modern, kesempatan itu diberikan pada awalnya kepada partai politik sebagai pilar demokrasi dengan sejumlah kewenangan kepada legislative terpilih.

Sejumlah kewenangan dimaksud misalnya, kewenangan urusan legislasi, anggaran, pengawasan dan lain lain. 

Tetapi sasaran utamanya kata dia, adalah partai politik sebagai corong supaya kepentingan masyarakat luas diakomodir menjadi arah kebijakan pemerintah pusat dan local.

Tujuannya hanya satu yakni bagaimana mendekatkan keinginan masyarakat luas sejajar dengan yang dirumuskan oleh pemerintah. 

Pengalaman pemerintahan otoritarianisme selama 32 tahun yang telah membelenggu demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru, kemudian melahirkan Era Reformasi dengan harapan pemerintah bersama partai politik mampu merumuskan apa yang menjadi keinginan masyarakat luas sebagai pemilih. 

Sebab satu-satunya harapan dari setiap pembentukan negara adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas dengan cara pelayanan semaksimal mungkin untuk kepentingan warga baik kepentingan mendasar seperti makan, minum kesehatan, dan sarana transportasi dan lain-lain kebutuhan. 

Tetapi ketika partai-partai dianggap justru sibuk dan asyik dengan agendanya sendiri yang jauh dari agenda dan kepentingan masyarakat luas, maka tidak ada forum lain bagi warga selain menentukan sendiri calonnya untuk diuji dalam pemilihan kepala daerah lewat jalur indepenen. 

"Artinya, jalur independen itu adalah kritik terhadap keberadaan dan peran dari partai politik yang berkecenderungan justru menihilkan peran dan kepentingan masyarakat luas, partai justru hadir sebagai penguasa yang asing dari kepentingan masyarakat luas itu sendiri,” Osbin menjelaskan.

Kebanggaan demokrasi Indonesia adalah ketika pemilih diberi ruang untuk menentukan sendiri pemimpinnnya dalam pemilu, entah memilih calon independen atau partai politik. Jika yang menang justru calon independen, itu artinya rakyat tidak percaya lagi dengan partai plitik, karena sosok atau figure yang diusung oleh partai politik cenderung sosok yang sesuai menurut partai yang bersangkutan tetai mungkin malah tidak sesuai dengan harapan masyarakat pemilih.

Refleksi 2015

Osbin menganjurkan pentingnya berefleksi dengan pilkada serentak 2015 yang lalu, dimana di sejumlah daerah perkotaan terdapat fenomena jumlah suara sah  pemilih dari daftar pemilih tetap tidak lebih dari 55 persen. 

Bahkan di Kota metropolitan Medan Sumatera Utara, suara sah pemilih tidak lebih dari 25 persen dari daftar pemilih tetap.

Persepsi awal masyarakat awam berkesimpulan bahwa calon kepala daerah yang sedang bertarung tidak diminati pemilih, atau karena pemilih melihat tidak ada diantara dua calon yang bertanding itu yang memberi harapan perubahan.

Akhirnya yang terjadi adalah apatisme warga untuk memberikan suaranya.

“Dan jika fakta-fakta ini semakin marak terjadi di sejumlah daerah, bukan tidak mungkin ancaman demokrasi melalui  ketidakpercayaan masyarakat luas kepada partai akan semakin terperosok. Lalu ketika sekarang ini ada sejumlah calon independen yang semakin memikat hati warga, kenapa partai partai malah mempersulit syarat pencalonan bagi calon independen. Padahal belum tentu calon independen akan terpilih jika ada calon dari partai politik yang jauh lebh diterima masyarakat pemilih,” ujar alumni Seminari Tinggi  Santo Yohanes Pematangsiantar ini.

Fakta pilkada serentak Desember  2015, sekurang kurangnya di enam kabupaten/kota yang sudah maju seperti Kota Medan Sumatera Utara, Kota Batam Kepri, Kab. Serang Banten, Kota Waringin Timur Kalimantan Tengah, Kota Surabaya Jawa Timur, dan Kabupaten Jember Jatim, suaara sah apemilih tidak melebihi angka 51 persen dari Daftar Pemilih Tetap.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan