Operasi Tangkap Tangan KPK
KPK Dinilai Perlu Kerjasama dengan KY Ungkap Mafia Peradilan
KPK diketahui menangkap Kepala Sub Direktorat Kasasi Perdata Mahkamah Agung, Andri Tristianto Sutrisna (ATS).
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menilai operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan adanya mafia peradilan.
KPK diketahui menangkap Kepala Sub Direktorat Kasasi Perdata Mahkamah Agung, Andri Tristianto Sutrisna (ATS).
"Penangkapan itu ibarat sebuah proses menjadikan gas yang bernama "mafia peradilan" menjadi zat padat. Selama ini kan seperti gas yang nyata berbau busuk, tapi selalu disangkal keberadaannya karena tidak jelas wujudnya," kata Arsul ketika dikonfirmasi, Minggu (14/2/2016).
Arsul menuturkan KPK maupun Komisi Yudisial (KY) sebenarnya sudah memiliki peta atau alur gas busuk dalam praktek peradilan di Indonesia. Namun, untuk sebuah proses hukum maka gas tersebut harus diproses menjadi padat melalui operasi tangkap tangan (OTT).
Untuk itu, ia meminta kedepannya untuk memberantas gas yang bernama mafia peradilan maka perlu kerja sama dan tukar menukar informasi antara KPK dan KY
"Endusan-endusan KPK yang ternyata secara hukum sulit ditindaklanjuti namun secara etik merupakan pelanggaran oleh hakim dan aparat peradilan maka bisa diberikan kepada KY untuk memprosesnya," kata Politikus PPP itu.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menahan Kepala Sub Direktorat Kasasi Perdata Mahkamah Agung, Andri Tristianto Sutrisna (ATS). Pehananan tersebut usai Andri diperiksa secara intensif pascapenangkapan di rumahnya di kawasan Gading Serpong, Tangerang, Jumat lalu.
Selain menahan Andri, KPK juga menahan dua tersangka lainnya yakni Direktur PT Citra Gading Asritama (CGA) Ichsan Suaidi dan pegacara Awang Lazuardi Embat. Ichsan ditahan di Rumah Tahanan Polres Jakarta Selatan sementara Awang ditahan di Rumah Tahanan Polres Jakarta Pusat.
Diketahui, ketiganya ditetapkan sebagai tersangka terkait suap kepada pegawai MA. Icshan memberikan suap Rp 400 juta kepada Andri melalui pengacaranya Awang, agar menunda pengiriman salinan putusan kasasi terdakwa Ichsan.
Pada putusan kasasi tersebut, Ichsan divonis pidana penjara selama 5 tahun dan membayar denda Rp 200 juta subsidair enam bulan penjara dan dikenakan uang pengganti sebesar Rp 4,46 miliar subsidair 1 tahun penjara.
Atas perbuatannya, Andri disangka Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara Icshan dan Awang dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.