Ledakan Bom di Sarinah
SP ke Starbucks Coffee Sarinah Janjian Bertemu Temannya Tapi Ternyata Salah Alamat
SP janjian bersama temannya yang sudah lama tidak bertemu.
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dua orang Warga Negara Asing (WNA) yakni Frank Feulner (Jerman) dan Manfred Stoif (Austria) kini masih terbaring di rumah Sakit Abdi Waluyo, Menteng, Jakarta.
Keduanya masih dirawat intensif oleh tim medis pasca-aksi teror Jakarta Kamis pekan lalu.
Kondisi kedua WNA yang kini semakin membaik tersebut tidak terlepas dari keberanian dan ketulusan sepasang suami istri yang memberikan pertolongan di lokasi kejadian tidak lama setelah ledakan bom terjadi.
Tribunnews berhasil mewawancarai istri yang menyelamatkan ke dua WNA tersebut, Rabu (20/1/2016).
Perempuan berinisial SP (38) itu menceritakan detik-detik setelah terjadinya ledakan dan pertemuannya dengan dua WNA tersebut.
SP menuturkan ia menuju Starbucks lantaran hendak bertemu temannya.
Ia janjian bersama temannya yang sudah lama tidak bertemu. Lantaran sering berkumpul di Starbucks Jakarta Theater, ia pun akhirnya menuju tempat tersebut.
Namun saat berada di pintu parkir Jakarta Theater terjadi ledakan di dalam Starbucks dan di Pos Polisi Sarinah.
Ia pun panik dan teringat temannya yang hendak ditemui.
"Saya takut teman saya ada di dalam, tapi saya dan suami saya takut masuk ke dalam, karena banyak orang berlarian ke luar dari dalam starbucks dan takut terjadi ledakan susulan," katanya.
Lantaran membawa dua WNA yang penuh luka, ia pun baru sempat menghubungi temannya saat berada di RS Abdi Waluyo.
Saat dihubungi ternyata temannya tersebut selamat dan berada di Starbucks Grand Indonesia.
"Ternyata salah janjian ternyata janjiannya di Grand Indonesia, bukan Jakarta Theater," paparnya.
Sementara itu di secara terpisah, istri Frank Feulner, Bivitri Susanti mengatakan kondisi suaminya sudah membaik.
Sejumlah operasi telah dilakukan mulai dari operasi luka bakar hingga operasi mata.
"Sudah membaik, kan dia dioperasinya banyak, kecil-kecil, operasi luka bakar tingkat tiga. Ada serpihan kaca kecil sekali di mata, empat jahitan matanya. Selain itu ada serpihan logam di dahinya, tapi tidak masuk kepala hanya di permukaan kulit," paparnya kepada Tribunnews.com.
Dari sekian tindakan medis tersebut, yang terakhir dilakukan adalah operasi tendon tangan kanan, yang dilakukan pada Sabtu lalu.
Meskipun secara keseluruhan dikatakan membaik, menurut Bivitri telinga kanan suaminya belum pulih.
Telinga kanannya belum bisa berfungsi karena ledakan di dalam Starbucks.
"Cuma telinga kanannya belum bisa mendengar. Emang engga bisa denger. Gendang telinga kanannya pecah sedikit," katanya.
Perempuan satu anak tersebut berharap suaminya dapat segera dibawa pulang.
Ia ingin Frank dirawat di rumah sehingga mendapatkan perhatian lebih.
Selama ini, ia harus membagi waktu antara anak dan suaminya. Satu sisi harus selalu mendampingi suaminya, namun satu sisi harus menemani anaknya yang masih usia dini.
"Harus selalu didampingi, karena pendengarannya hilang begitu, apalagi waktu awal matanya habis dioperasi belum terlalu bisa melihat, belum lagi kalau ngobrol sama dokter atau suster terkendala bahasa, karena harus terjemahin juga," katanya.
"Belum lagi kita memikul beban psikologis terutama buat anak saya, yang engga mengerti apa-apa, yang menanyakan kenapa papahnya kena bom, kok ada orang jahat seperti itu," paparnya.
Bivitri mengatakan suaminya terbilang jarang mengunjungi Starbucks, Thamrin, Jakarta.
Suaminya berada di starbucks saat terjadi ledakan untuk bertemu temannya yang sudah lama tidak jumpa.
"Janjian dengan teman dekat yang sudah tidak lama bertemu, yaitu Johan, karena kantor Johan berada di seberang Starbucks jadi janjiannya di situ," katanya.
Namun nahas, sedang asyik berbincang dengan temannya tersebut terjadilah ledakan persis di samping meja keduanya.
Temannya yang bernama Yohannes Antonius Maria atau Johan Keift tersebut juga ikut menjadi korban dan kini dirawat intensif di salah satu rumah sakit di Singapura.
Frank dan Yohannes merupakan teman dekat ketika sama-sama bekerja di UNDP PBB.
Namun Frank berhenti bekerja di PBB, dan kini memilih menjadi konsultan independen tata kelola pemerintahan.