Advertorial
Cegah Keterbelakangan Mental Bayi Akibat Kekurangan Hormon Tiroid
Bila tidak dicegah, diperkirakan pada usia 16-26 tahun mendatang terdapat sekitar 24.000-39.000 penduduk yang berpotensi mengalami gangguan tiroid
TRIBUNNEWS.COM - Kekurangan hormon tiroid yang dialami sejak lahir atau pada bayi dapat mengakibatkan gangguan keterbelakangan mental.
Hal tersebut diungkapkan Menteri Kesehatan RI Prof. Nila F Moeloek SpM(K) yang diwakili Staf Ahli Menteri Bidang Medikolegal (Hukum Kesehatan), drg Tritarayati SH, MH Kes di pembukaan Seminar Publik ‘Pekan Peduli Tiroid Internasional 2015’ di Auditorium Siwabesi, Kementerian Kesehatan, Jakarta, Selasa (26/5/2015).
"Kekurangan hormon yang dialami bayi sejak lahir dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan, perkembangan, dan keterbelakangan mental. Gangguan tumbuh kembang ini berakibat pada peningkatan angka beban psikososial hingga kerugian ekonomi," ungkap Menkes.
Seminar tersebut dilaksanakan dalam rangka Pekan Peduli Tiroid yang mengambil tema ‘Cegah Dirimu dari Gangguan Tiroid’.
“Tema ini sangat sejalan dengan kebijakan pemerintah di bidang kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif dalam penanggulangan masalah kesehatan yang diimplimentasikan bersama seluruh komponen masyarakat,” imbuh drg Tritarayati SH, MH Kes.
Kekurangan hormon tiroid yang menyebabkan gangguan tiroid merupakan salah satu penyakit tidak menular yang banyak dialami masyarakat Indonesia. Kekurangan hormon tiroid terjadi karena kurangnya asupan yodium dalam tubuh manusia.
Selain itu, kekurangan hormon tiroid juga disebabkan menurunnya atau tidak berfungsinya kelenjar tiroid pada bayi sejak lahir (hipotiroid congenital). Hipotiroid congenital merupakan kelainan yang dapat dideteksi sejak bayi melalui Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK), sehingga pencegahan dan pengobatannya dapat dilakukan sejak dini.
Menteri Kesehatan juga menyatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan SHK dari 2000-2014 di beberapa kota Indonesia, ditemukan kasus positif gangguan tiroid dengan proporsi sebesar 0,4 per 1000 bayi baru lahir.
Bila tidak dilakukan intervensi, diperkirakan pada usia 16-26 tahun mendatang akan ada sekitar 24.000-39.000 penduduk Indonesia yang berpotensi mengalami risiko gangguan tiroid. SHK sendiri telah menjadi standar pelayanan bagi semua bayi yang ingin melakukan deteksi dini gangguan tiroid.
Hal tersebut tertuang dalam aturan Permenkes No. 25 Tahun 2014 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Anak dan Permenkes No. 27 Tahun 2014 tentang Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK).
Dalam kesempatan tersebut, drg Tritarayati SH, MH Kes juga mengajak masyarakat Indonesia tidak lupa berpartisipasi mengedukasi masyarakat tentang gangguan tiroid, menerapkan gizi seimbang dengan penggunaan garam beryodium, serta melakukan upaya deteksi dini dengan Skrining Hipotiroid Congenital.
Berita dan info kesehatan lainnya dapat dilihat di laman www.depkes.go.id dan www.sehatnegeriku.com. (advertorial)