Minggu, 5 Oktober 2025

Cerita Ravio Patra Sempat Dapat Tindakan Intimidatif Saat Proses Penangkapannya

Padahal saat itu, tak ada satupun petugas yang terlihat menggunakan seragam kepolisian. Dia memperkirakan ada belasan orang yang menghadangnya di

Penulis: Igman Ibrahim
Editor: Johnson Simanjuntak
LinkedIN
Ravio Patra 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) dan peneliti Ravio Patra buka suara terkait kejanggalan proses penangkapan saat dituduh menyebarkan pesan provokasi pada 22 April 2020 lalu.

Menurut Ravio, terdapat pelanggaran hukum yang dilakukan penegak hukum.

Ravio menyatakan tempat penangkapannya dilakukan di Jalan Blora, Menteng, Jakarta Pusat. Saat penangkapan, tak ada satupun penegak hukum yang menunjukkan surat tugas ataupun surat perintah penangkapan.

Padahal saat itu, tak ada satupun petugas yang terlihat menggunakan seragam kepolisian. Dia memperkirakan ada belasan orang yang menghadangnya di jalan tersebut.

"Saya minta surat tugas dan saya minta surat penangkapan tidak ada satupun yang diberikan kepada saya. Jadi kalau dibilang saya melawan ya pasti melawan. Masa nurut aja dibawa orang nggak jelas identitasnya siapa dan dari mana dan tujuannya apa," kata Ravio dalam sebuah diskusi online, Kamis (4/6/2020).

Baca: Ajukan Praperadilan, Ini 3 Objek Hukum yang Dipermasalahkan Ravio Patra

Ketika itu, Ravio sempat berdebat dengan aparat lantaran penangkapan atau penahanan tanpa surat perintah telah melanggar undang-undang. Namun, Ravio mengaku malah mendapatkan tindakan intimidatif.

"Saya tahu pasal KUHAP terkait penangkapan itu. Saya bacakan dan saya cuma dibalas jangan sok pintar. Cuma dibilang diam lu atau bisa diem gak lu. Disuruh jongkok," terangnya.

"Jadi saya sebenarnya masih ingin melawan dalam artian saya menolak untuk dibawa sampai ada surat tugas yang jelas cuman akhirnya ngikut saat ada salah satu polisi yang mengeluarkan senjata api. Dia tidak mau nodong tapi dia nunjukin," sambungnya.

Saat dalam perjalanan menuju Polda Metro Jaya, pihak kepolisian juga menyita ponsel hingga laptop pribadi miliknya tanpa surat resmi. Namun karena merasa dalam kondisi ditekan, Ravio kemudian memberikan barang-barangnya tersebut.

"Saya sebenarnya gak mau ngasih karena untuk ngambil handphone kan harus ada surat penyitaan dong. Cuma kondisinya saya sendirian dan di sini ada puluhan polisi di dalam mobil dan saya di taruh di pojok paling belakang dan situasinya panas. Saya juga tidak banyak pilihan akhirnya terpaksa saya kasih dan ransel saya diambil paksa oleh polisi," terangnya.

Tak hanya itu, Ravio mengaku juga dipaksa untuk memberikan akses password di laptop pribadinya.

"Saya dipaksa ngasih password dan itu dibuka macam-macam laptop saya. Kemudian saat di Polda, itu tas saya dibongkar habis dan dompet saya diperiksa dan semuanya," pungkasnya.

Diberitakan sebelumnya, Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) dan peneliti Ravio Patra akhirnya mengajukan gugatan praperadilan terkait kasus penangkapannya yang diduga sebarkan pesan provokatif pada 22 April 2020 lalu. Ia menyebut ada banyak pelanggaran hukum yang dilakukan oleh kepolisian.

Sebagaimanan diketahui, gugatan itu didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (3/6/2020) kemarin. Gugatan itu didaftarkan oleh sejumlah organisasi masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Tolak Kriminalisasi dan Rekayasa Kasus (Katrok).

Perwakilan Katrok dari LBH Jakarta, Okky Wiratama Siagian mengatakan gugatan telah terdaftar dengan nomor 63/Pid.Pra/2020/PN-JKT.Sel. Gugatan itu sekaligus menguji apakah ada pelanggaran hukum penangkapan Ravio.

"Praperadilan sendiri adalah alat kontrol bagi penegak hukum untuk menguji tindak paksa penahanan, penggeledahan hingga penyitaan itu apakah sudah sesuai prosedur atau belum," kata Okky dalam diskusi yang digelar secara online pada Kamis (4/6/2020).

Okky mengatakan ada tiga objek yang diajukan praperadilan oleh tim kuasa hukum. Hal tersebut setelah menelisik kronologi penangkapan Ravio yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya.

"Kita mengajukan objek praperadilannya ada tiga yaitu sah atau tidaknya penangkapan, sah atau tidaknya penggeledahan dan sah atau tidaknya penyitaan. Jadi ada tiga objek praperadilan yang kita daftarkan ke PN Jakarta Selatan," jelasnya.

Sebagai contoh, Okky menjelaskan penegak hukum tak pernah menunjukkan surat perintah penangkapan kepada Ravio Patra atau keluarga saat kejadian penangkapan bahkan hingga sekarang.

"Kenapa kita bilang ada dugaan penangkapan Ravio ini tidak sah? karena sudah dijelaskan pada ditangkap Ravio sudah meminta untuk ditunjukkan surat tugas dan surat perintah penangkapan dan namun hal itu tidak diberikan. Sampai saat ini juga Ravio dan keluarga tidak menerima tembusan Surat Perintah penangkapan," jelasnya.

Tak hanya itu, Okky menyebutkan penggeledahan dan penyitaan barang milik Ravio Patra juga diduga melanggar hukum. Penegak hukum tak sama sekali menunjukkan surat perintah dan kerap mengambil barang yang tak berkaitan dengan kasus.

"Penggeledahan paksa namun tidak ditunjukkan surat izin dari pengadilan negeri setempat. Juga terkait penyitaan ada barang barang yang tidak relevan yang disebutkan disita juga tanpa ada berita acara penyitaan," jelasnya.

Dia menambahkan kasus Ravio hanya satu dari berbagai kasus kesewenangan penegak hukum saat menangkap warga negara setidaknya dalam satu tahun terakhir. Selain Ravio, ada banyak kasus lainnya yang mengalami hal serupa.

"Kasus Ravio ini hanya satu kasus aja nih. Ada kasus kasus lain yang satu tahun terakhir. Ketika dia ditangkap dan langsung diperiksa sebagai tersangka. Kasus Ravio hanya salah satu kasus saja yang terjadi di berbagai Indonesia satu tahun terakhir," pungkasnya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved