Selasa, 7 Oktober 2025

Child Worker

Putus Sekolah, Jadi Tukang Semir Sepatu Demi Belanja Ibu

Putus sekolah dari bangku SD, jadi tukang semir sepatu demi bisa setor uang belanja untuk ibunda. Itulah Ukat, bocah tukang semir sepatu.

Putus Sekolah, Jadi Tukang Semir Sepatu Demi Belanja Ibu - semir_11.jpg
TRIBUNNEWS.COM/ AGUNG BUDI SANTOSO
Ukatma, bocah tukang semir sepatu di Stasiun Palmerah, Jakarta Barat. Ia putus sekolah demi membantu mencari uang belanja untuk ibunya.
Putus Sekolah, Jadi Tukang Semir Sepatu Demi Belanja Ibu - semir_21.jpg
TRIBUNNEWS.COM/ AGUNG BUDI SANTOSO
Jumlah anak putus sekolah dan memutuskan jadi penyemir sepatu di sejumlah stasiun antara Serpong dan Tanah Abang kian banyak.
Putus Sekolah, Jadi Tukang Semir Sepatu Demi Belanja Ibu - semir_31.jpg
TRIBUNNEWS.COM/ AGUNG BUDI SANTOSO
Di masa usia sekolah, bocah remaja ini jualan sate di kawasan Jombang, Tangerang Selatan.
Putus Sekolah, Jadi Tukang Semir Sepatu Demi Belanja Ibu - IMG009571.jpg
TRIBUNNEWS.COM/ AGUNG BUDI SANTOSO
Sebagian anak putus sekolah memilih jadi ojek payung di Stasiun Kebayoran, Tanah Abang, Tanah Abang maupun Serpong.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA
"Semir ya Om?” sapa seorang bocah tukang semir kepada seorang lelaki paruh baya di Stasiun Kereta Api (KA) Palmerah, Jakarta Barat, Rabu (17/10/2012). 

"Oh, enggak makasih. Bentar lagi keretanya datang,” jawab lelaki berpostur tambun yang juga calon penumpang Kereta Commuter  Line jurusan Tanah Abang – Serpong itu, dalam nada cuek.

"Masih lama kok, Om keretanya. Nyemir paling tiga menit kelar,” kata bocah tukang semir itu dalam nada merayu. 

"Nanti kalau keretanya tiba-tiba dateng, gimana?” kata lelaki itu sembari menggeleng-geleng kepala isyarat tetap menolak.

Tak mau  target 'buruannya' lolos, si bocah itu kembali melancarkan rayuan.  "Dijamin deh Om, keburu! Tenang aja, nanti kalau nggak keburu Om nggak usah bayar deh, ” ujar si bocah sembari senyum-senyum menggoda konsumennya.

"Eeeit, ini bukan soal bayar. La kalau nggak keburu kan sepatuku bisa belang-belang karena nggak tuntas nyemirnya?” jawabnya. Seolah tak kehabisan akal, bocah tukang semir itu kembali melancarkan jurus pamungkasnya.

"Gini aja deh, Om. Biar aku panggil temenku ya, jadi nyemirnya digarap berdua. Biar cepet, oke?” ujarnya, taktis. 

"Ya udah, ya udah!” jawab lelaki calon penumpang itu sembari melepas sepasang sepatu kulit warna hitam itu. Ukatma, 13 tahun, nama bocah tukang semir itu, lantas meminjamkan sandal jepitnya kepada lelaki calon penumpang kereta itu.

Sandal jepit selalu dipinjamkan Ukatma kepada konsumennya, agar pelanggan tetap bisa lalu-lalang selama sepatu disemir. Dengan sigap, Ukat menyemir sepasang sepatu  butut’ (karena sebagian permukaan kulitnya mengelupas) itu. Tangan mungilnya tak sebanding dengan kegesitannya menyemir. Dan dalam tempo kurang dari lima menit, sepatu itu berubah kinclong memesona.

"Sudah, Om!” kata Ukatma, sembari menerima selembar uang kertas dua ribuan yang disodorkan pemilik sepatu. Bocah manis yang terpaksa putus sekolah dari SD Babakan 4 Parung Bogor itu memang tidak hanya  'profesional’ dalam urusan menyemir tapi juga dalam memasarkan jasanya kepada konsumen.

Tanpa belajar ilmu marketing, Ukat memainkan naluri dan instingnya agar calon pelanggan yang diburunya tidak sampai  lolos.  Ketika tawaran semir ditolak, ia memainkan argumentasi sederhana tapi mudah dimengerti sehingga target yang disasarnya luluh.

Bisa dibayangkan, kalau anak ini beranjak besar, betapa bakat alami marketingnya relatif mudah diasah lewat pendidikan formal. Sebab talentanya sudah tampak dari usia belianya. Tapi sayang, untuk saat ini, mengenyam pendidikan formal baru sebatas impian bagi anak ketiga dari empat bersaudara yang tinggal di Parung Bogor ini.

"Cuma sampai kelas lima (SD), nggak ada duit buat nerusin,” gumam Ukatma kepada Tribunnews. Di lingkup keluarganya, Ukat tidak sendirian. Dua kakaknya mengalami nasib serupa, yakni putus sekolah.  Dua kakak saya kerja cuci mobil,” tuturnya. Untung, adiknya masih bersekolah kelas 5 SD. Tapi Ukat juga tidak menjamin apakah sang adik bisa sampai lulus dan meneruskan ke tingkat SMP dan SMU.

Sial dan Keberuntungan

Tapi bocah yang masih polos itu terkesan tak menyesal drop out dari bangku SD. Dengan menjadi tukang semir, ia merasa bisa membantu uang belanja ibunya.  "Duitnya (hasil menyemir) saya kasih ke ibu semua. Kalau mau jajan, ya saya minta ke ibu juga, ” tuturnya.  Seharian menyemir, paling kecil Ukat meraup uang Rp 30 ribu dan paling banyak Rp 40 ribu. Hari keberuntungan baginya adalah tiap Jumat.

Sebab selain menyemir dari stasiun ke stasiun, Ukat bisa memburu rezeki dengan menyemir sepatu milik para jama’ah Sholat Jum’at di masjid komplek Kementerian Kehutanan di Gedung Manggala Wana Bakti yang berseberangan dengan Stasiun Palmerah.

Anehnya, Ukat dan teman-teman sesama penyemir tak pernah mematok tarif. Makin banyaknya bocah tukang semir membuat persaingan makin sengit. Akibatnya, tarif semir pun dibanderol sukarela.  "Kebanyakan sih dikasih Rp 2 ribu, kadang-kadang ada yang ngasih lebih juga, "  sahut Nurman, bocah tukang semir lainnya yang juga bersekolah hanya  sampai kelas 5 SD itu.

Selain hari keberuntungan, Ukat dan teman-temannya terkadang mengalami  sial juga. Kadung ngos-ngosan menyemir, ternyata nggak dibayar.  Bukannya protes, Ukat mengaku buru-buru pergi menghindar dari konsumen model begni.  "Saya justru takut kalau ada yang nggak bayar. Takut digertak kalau aku minta bayaran,” tuturnya, polos.  

Pengamatan Tribunnews, jumlah bocah tukang semir ini dari hari ke hari makin banyak saja . Setahun silam, penyemir hanya tampak 1-2 orang saja di tiap stasiun sepanjang Stasiun Tanah Abang, Palmerah, Kebayoran, Pondok Ranji, Sudimara, Rawa Buntu hingga Serpong.  Tapi kini, bisa lebih dari lima bocah di tiap stasiun.

Ini belum termasuk pekerja anak (child worker) yang mengais rezeki dengan menjadi tukang sapu dari gerbong ke gerbong kereta, memulung botol dan gelas plastik bekas kemasan air mineral, mengamen, jualan tahu Sumedang, jualan otak-otak, ojek payung dan macam-macam pekerjaan serabutan lainnya.

Mereka adalah bagian dari anak-anak yang bekerja di bawah umur yang  secara nasional mencapai 878,1 ribu pada tahun 2011 (data Bappenas). Selain angka itu, menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) /Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana, jumlah anak berusia 10-14 tahun yang sedang berburu pekerjaan mencapai 174,5 ribu.

Sementara jumlah anak usia 10-14 tahun, menurut Sensus Penduduk Tahun 2010 adalah sebesar 22,0 juta. Artinya, hampir 5 persen anak Indonesia berusia 10-14 yang seharusnya bersekolah, ternyata memeras keringat dengan bekerja dan sebagian lain sedang mencari pekerjaan.

Jumlah yang amat tinggi sekaligus membahayakan masa depan anak-anak maupun bangsa di masa depan (Antaranews.com, 21 Juni 2012). Padahal usia seseorang bekerja, menurut Bappenas, adalah 15 tahun ke atas.

Faktor kemiskinan menjadi pemicu utama anak-anak bekerja di bawah umur, baik karena dorongan orangtua maupun keinginan diri sendiri. Menurut Wikipedia, istilah pekerja anak berkonotasi sangat buruk karena dapat bermakna pengeksploitasian anak kecil , dengan penghasilan tak manusiawi.

Pekerja anak berbahaya juga karena pertimbangan perkembangan kepribadian mereka lantaran tumbuh di lingkungan liar dan keras, ancaman keamanannya, kesehatan, dan prospek masa depan.
.
Biarpun sebagian anak merasa asyik dengan dunia bekerja (karena meraup uang lebih untuk jajan) hal tersebut tetap tidak menjamin masa depan anak tersebut.  Di sebagian negara berkembang, argumentasi pelarangan seperti ini ini dianggap melanggar hak manusia.

Tapi di negara-negara kaya dan maju dianggap sebaliknya yakni melanggar hak anak. Sementara di negara-negara miskin pekerja anak masih terus diizinkan pemerintahnya karena keluarga seringkali bergantung pada pekerjaan anaknya untuk bertahan hidup dan kadangkala merupakan satu-satunya sumber pendapatan.

Di Indonesia, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyebut, 26 persen pekerja anak mencari rezeki di lingkungan yang berbahaya bagi bocah seusia mereka. Antara lain mengamen di jalanan, bekerja di pabrik yang berurusan dengan bahan kimia, prostitusi, bahkan bekerja di sektor domestik sebagai pembantu rumah tangga.

Solusi Pekerja Anak

Merespon pro dan kontra tentang pekerja anak, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Usaha Kecil Menengah, Nina Tursina, memberi jalan tengah.  Menurutnya anak-anak dibolehkan bekerja tetapi dengan syarat-syarat yang sangat ketat, dan ini berlaku bagi pekerja anak laki-laki maupun perempuan.

"Anak-anak boleh kerja, tetapi maksimal tiga jam, pekerjaannya tidak membahayakan, dan mereka tetap sekolah," ujar Nina, Kamis (11/10/2012), di Jakarta seperti dilansir Tribunnews.com. Tapi apa faktanya di lapangan? Apakah mereka bekerja tanpa meninggalkan urusan sekolah?

"Mana bisa, Om (sekolah disambi kerja)? Ini saya bisanya kerja setelah lulus SD. Pas masih sekolah ya nggak bisa. Tapi saya masih untung. Cuma saya yang lulus SD (Sekolah Dasar), teman-teman penyemir lainnya paling banter sampai kelas lima. Tapi saya sendiri nggak nerusin ke SMP. Nggak ada duit, ” kata Aji, bocah penyemir sepatu yang beroperasi di gerbong Kereta Api Ekonomi jurusan Tanah Abang – Rangkas Bitung kepada Tribunnews.

"Ya, dia mah lumayan bisa lulus. Saya cuma sampai kelas dua,” sahut Mahdi, bocah penyemir sepatu berkulit gelap dan berambut subur itu. Bagi mereka, sangat sulit untuk bekerja serabutan tanpa meninggalkan bangku sekolah. Mereka justru melihat bersekolah itu sebagai beban ekonomi keluarga.

"Kalau saya sekolah dan nggak kerja nyemir kayak begini, emak (ibu) belanja pakai apa?” timpal Aji lagi. Sulitnya bekerja sembari bersekolah juga diutarakan Ukatma. Bagaimana bisa bersekolah? Pagi-pagi buta ia harus bangun tidur.

Tanpa sempat melahap sarapan, ia buru-buru menumpang Kereta Ekonomi dari arah Rangkas Bitung menuju Tanah Abang yang singgah di Stasiun Parung pukul 05.00 WIB. Tanpa pedulikan perut keroncongan, ia langsung memburu para penumpang dari kalangan karyawan kantoran yang mengenakan sepatu kulit untuk ditawari jasa semir sepatu.

Tanpa tiket, ia setengah sembunyi-sembunyi dari pengawasan masinis kereta. Karena mayoritas penumpang kereta ekonomi dari Rangkas Bitung adalah pedagang, Ukat sering sepi order. Maklum, para pedagang tak  bersepatu kulit melainkan bersandal jepit.

Karena itu, Ukat lantas menyisir rezeki dari stasiun ke stasiun, terutama StasiunKebayoran, Palmerah dan Tanah Abang. Di tiga stasiun ini cukup banyak karyawan kantoran yang duduk-duduk dan berdiri menunggu datangnya Kereta full AC Commuter Line.

Merekalah target  'marketing’ empuk anak-anak penyemir ini. Lembaran-lembaran rupiah membuat Ukat bersemangat menawarkan jasanya sampai tak terasa matahari sudah berada di ufuk barat.

"Dapat duit berapa pun, badan capek atau enggak, pokoknya kalau sudah jam setengah lima sore saya harus cabut (pulang),” kata Ukat. Ia pulang balik ke Parung Bogor menumpang kereta kelas ekonomi yang penuh sesak penumpang. Kereta itu berangkat dari Stasiun Palmerah pukul 16.30 ke arah Rangkas Bitung.  Ia baru tiba di rumahnya di Parung Bogor dua jam kemudian atau pukul 18.30 WIB.

Kalau dihitung-hitung,  jam kerja” Ukat jauh lebih lama dibanding kalangan karyawan kantoran yang jadi pelanggannya. Padahal Ukat dan kawan-kawannya bayarannya jelas jauh lebih tak manusiawi. 

Ukat dan teman-temannya sesama penyemir dari Parung  berangkat 'kerja' pukul 05.00 pagi dan baru balik arah pada pukul 16.30 alias 11,5 jam dia habiskan seharian di lingkungan yang keras. Sementara karyawan kantoran yang bekerja di lingkungan nyaman (full AC dan bersih) baru berangkat dari rumah rata-rata pukul 07.30 dan meninggalkan kantor rata-rata pukul 15.30 WIB alias  'hanya' delapan jam kerja.

Para pekerja kantoran dilindungi jaminan sosial, sementara Ukat, Aji, Mahdi dan puluhan bocah tukang semir lainnya tidak. Mereka juga dibayang-bayangi masa depan yang tak pasti. Mereka terjebak pada kondisi itu karena faktor kemiskinan keluarganya. Padahal, betapa indahnya membaca bunyi Undang- Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 34 ayat 1,  Fakis miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” (Agung Budi Santoso)

Statistik Pekerja Anak

- Data ILO 2012, total jumlah pekerja anak Indonesia sebanyak 2,3 juta. Sebagian besar     di  Indonesia Timur.

- Kategori pekerja anak menurut ILO adalah usia 7-14 tahun.

- Tahun 2012, pemerintah berjanji 'membebaskan' 10.750 anak dari tempatnya bekerja,kembali ke sekolah.

- Data versi Komnas Perlindungan Anak = dari 6,5 juta pekerja anak berusia 6-18 tahun, sebanyak 26 persen di antaranya bekerja di lingkungan yang berbahaya bagi anak.

- Akhir Maret 2012, ILO memperkirakan 688 ribu anak Indonesia bekerja sebagai pembantu rumahtangga.

- 5 Juli 2012, Menakertrans Muhaimin Iskandar mengancam akan mempidanakan orangtua atau perusahaan yang mempekerjakan anak usia sekolah. Para pelanggar bisa dijerat Undang-undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003) dan UU tentang Ratifikasi Konvensi ILO pada Pekerjaan terburuk untuk anak (UU No.20 Tahun 1999 dan UU No 1. Tahun 2000) atau UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga. (abs)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved