Kamis, 2 Oktober 2025

Pilpres 2024

Dinamika Pemilu 2024 Sarat Manuver, Kombatan Ingatkan PDIP Tak Lengah

Sehingga, tidak dapat dikorbankan dalam suksesi periodisasi politik kekuasaan nasional setiap kurun 20-an tahun, bertepatan dengan Pemilu 2024.

Penulis: Chaerul Umam
Dokumentasi pribadi
Capres Ganjar Pranowo bersama Ketu Umum DPN kombatan Budi Mulyawan. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dinamika politik dari masa ke masa disebut selalu diwarnai manuver politik devide et impera, adu domba, tipu muslihat. 

Hal itu disampaikan Ketua Umum DPN Komunitas Banteng Asli Nusantara (Kombatan) Budi Mulyawan kepada wartawan Selasa (2/1/2024).

Menurutnya, PDI Perjuangan dalam refleksi selama kurun tahun 2023, dinilai sebagai salah satu parpol peserta Pemilu 2024 yang mengalami tragedi politik terburuk dalam sejarah sejak memasuki era reformasi hingga tutup tahun 2023.

Cepi sapaanya menilai, PDI Perjuangan (PDI-P) menghadapi peristiwa pengkhianatan besar dari kader unggulan yang difasilitasi dari mulai maju Walikota Solo hingga menjadi Presiden RI hingga dua periode.

"Joko Widodo alias Jokowi sebagai kader yang diandalkan, faktanya bukan hanya ingkar terhadap yang diamanatkan partai. Tapi, juga berpaling ke partai lain dalam Pilpres di saat dirinya mengalami puncak kejayaan," kata Cepi dalam keterangannya dikutip, Selasa (2/1/2024).

Menurut Cepi, soal kader hengkang dan bergabung ke partai lain, itu bukan hal aneh dalam dunia politik praktis.

Tapi, tragedi politik yang dialami PDI-P selama 2023 terkait Jokowi ini sangat tidak lazim. Apalagi, juga melibatkan anak Jokowi, Walikota Solo Gibran dan menantunya, Bobby Nasution yang Walikota Medan.

Bahkan, kata Cepi, ada kekhawatiran keniscayaan Jokowi dan keluarganya melakukan "perlawanan" terhadap PDI-P, akan jadi preseden buruk dalam budaya politik demokrasi di Tanah Air.

Ironis, lanjut Cepi, partai yang membidani Jokowi dan keluarganya terjun di gelanggang politik kekuasaan justru dijadikan "musuh" politik. Memprihatinkan, kata dia, karena seolah jadi fenomena "politik Malin Kundang" dalam budaya demokrasi partai politik di Indonesia.

"Jokowi setelah menikmati berbagai fasilitas politik istimewa dari partai mulai walikota hingga presiden, ternyata bukan cuma menabrak moral budi pekerti berpoltik demokrasi dengan berpihak ke partai lain dalam Pemilu," ungkap Cepi, yang sebelum mendeklarasikan Kombatan menjadi Ormas Nasionalis, justru jejaring relawan militan Jokowi saat dua kali maju Pilpres.

Cepi juga menegaskan, realita politik Gibran juga mengikuti jejak paradoks Jokowi. Padahal, anak sulung Jokowi ini saat prosesi jadi walikota Solo juga diperjuangkan "all out" PDI-P dan para kader serta konstituante PDI-P di Solo.

Politik kader "malin kundang" itu, kemudian diikuti menantu Jokowi, Bobby Nasution yang jadi Walikota Medan juga difasilitasi PDI-P.

Fakta lebih tragis, lanjut Cepi, justru semua dinamika itu seperti ada kesengajaan menghalalkan pengkhianatan politik dengan disertai berbagai macam manuver yang dapat dinilai merupakan praktik politik culas dan curang.

Efeknya, kata Cepi, tidak hanya melemahkan power partai berbasis ideologi nasionalisme Proklamator Ir Soekarno ini. Namun, identik mendegradasi posisi PDI-P sebagai partai pemenang dua kali Pemilu, yakni 2014 dan 2019.

"Tentu, realitas ini membahayakan masa depan PDI Perjuangan. Karena arahnya pada Pemilu 2024, dapat memindahkan lumbung suara PDI Perjuangan ke partai lain. Sehingga, PDIP bisa terancam akan jadi partai yang kalah," imbuh Cepi, yang juga kader PDI-P sejak era tragedi pemberangusan Kantor PDI --sebelum ganti nama PDI Perjuangan-- pada masa Orde Baru.

Karenanya, lanjut Cepi, Kombatan mengingatkan PDI Perjuangan jangan sampai lengah sedikit pun menghadapi ranjau-ranjau "jebakan batman" memasuki tahun baru, yang ditandai dengan momen strategis Pemilu 14 Februari 2024.

Sebaliknya, Cepi mempertegas, PDI-P wajib bangkit dan melawan. Sehingga, tidak dapat dikorbankan dalam suksesi periodisasi politik kekuasaan nasional setiap kurun 20-an tahun, bertepatan dengan Pemilu 2024.

"Usia periodisasi politik Tanah Air itu sudah terbukti, contohnya dimulai era Kebangkitan 1908, Sumpah Pemuda 1928, kemerdekaan RI 1945, Tragedi PKI 1965, gerakan Malari hingga Reformasi 1998. Suksesi regenerasi kekuasaan itu rata-rata dinamika tensi politik memang keras," ungkap Cepi.

Kombatan mencermati, lanjut Cepi, dinamika politik dari masa ke masa juga selalu diwarnai sarat manuver politik devide et impera, adu domba, tipu muslihat.

Baca juga: Jokowi Terkesan Buntuti Ganjar Pranowo, Hasto PDIP Sebut Prabowo Tak Bisa Blusukan

"Pastinya kolaborasi manuver politik ekonomi global yang berkonspirasi dengan domestik, selanjutnya memanfaatkan pelaku politik praktis dalam negeri," tutur Cepi, yang juga Ketua Umum Jejaring Relawan Jarwo (Ganjar Pranowo) Center Indonesia. JARWO CENTER.

"Jadi, tidak heran marwah politik menuju Pemilu 2024 diwarnai banyak peristiwa politik keras dan mencengangkan. Sebab, merupakan momen puncak suksesi perebutan politik kekuasaan untuk arah satu generasi minimal kurun 20 tahun ke depan," tutur Cepi, mengingatkan.

Cepi mengkritisi lebih mendalam adanya manuver ingkar peran PDI Perjuangan yang secara konstitusi memback-up penuh tugas Jokowi sebagai presiden RI. Yakni, seluruh anggota legislator Fraksi PDI-P yang jumlahnya terbanyak di DPR RI memberikan dukungan total ke Jokowi. Begitu pun dukungan peran serta kader PDI-P, Puan Maharani dalam posisi strategis sebagai Ketua DPR RI.

Ironisnya, kata Cepi, kewenangan konstitusi para legislator itu tiba-tiba diculasi Anwar Usman sebagai pimpinan lembaga tertinggi yudikatif, yakni Ketua Mahkamah Konstitusi. Adik ipar Jokowi ini dengan klaimnya "jabatan merupakan amanah Tuhan", justru membuat keputusan perkara No 90/PUU-XXI/2023 yang menabrak konstitusi.

"Intinya, ketua MK sebagai lembaga yudikatif menghalalkan bikin peraturan yang seharusnya kewenangan legislatif di DPR RI dan eksekutif yakni pemerintah," ungkap Cepi. Karenanya, sidang kode etik MKMK mencopot jabatan Anwar sebagai Ketua MK, karena terbukti melanggar etik berat.

Menurut Cepi, Gibran dalam statusnya sebagai kader PDI-P juga gayung bersambut merespon putusan sang paman, di MK. Yakni, syarat usia Capres dan Cawapres sekrang-kurangnya 40 tahun atau pernah menjabat kepala daerah. Gibran yang masih berusia 35 tahun pun maju jadi Cawapres lewat Golkar mendampingi Prabowo Subianto dengan didukung Koalisi Indonesia Maju.

"Politik memang tidak ada teman yang abadi, kecuali kepentingan. Tapi, Jokowi dan keluarganya sebagai kader PDI-P yang difasilitasi partai dan didukung massa PDI-P, rasanya ada tanda tanya besar kalau kemudian berpaling ke partai lain," ungkap Cepi.

Kombatan, kata Cepi, dari awal sudah memprediksi jika akan terjadi politik keniscayaan Jokowi dan keluarganya seperti sekarang ini. Indikatornya saat Jokowi menjadi presiden periode kedua merangkul Prabowo Subianto, yang dua kali dikalahkan dalam Pilpres.

"Dengan memasukkan Prabowo dalam kabinet sebagai Menteri Pertahanan (Menhan), secara logika Jokowi tentu lebih intens berkomunikasi dengan Prabowo ketimbang elite penguasa di PDI-P," ungkap Cepi.

Menurut dia, Prabowo sebagai Menhan tidak bisa dipisahkan dengan kapasitasnya sebagai Ketua Umum Gerindra, yakni partai pemenang kedua setelah PDI-P dalam Pemilu 2019.

"Oleh karena itu, intensitas dan kualitas komunikasi politik Jokowi dengan Prabowo tentu, tidak sebatas sebagai Menteri Pertahanan," tutur pimpinan Ormas yang ketua dewan pembinanya adalah Sidarto Danusubroto, Ajudan Proklamator Ir Soekarno dan Mantan Ketua MPR RI, yang juga Watimpres dua periode ini.

Karenanya, lanjut Cepi, wajar kalau Jokowi mulai semakin berjarak dengan para elite PDI-P. Eksesnya tidak bisa dihindari rahasia terdalam kekuatan internal PDI-P muda terbaca kekuatan di luar partai. Dampaknya, disadari atau tidak terus bermunculan skenario polarisasi baik persaingan politik internal maupun lawan politik eksternal.

"Politik devide et impera dan tipu muslihat terus menjadi circle politik kemana-mana, baik domestik maupun internasional. Termasuk, kekuatan politik global yang tidak diuntungkan selama kepemimpinan Jokowi," ungkap Cepi.

Baca juga: Bersaing di Posisi Teratas, Tiga Lembaga Survei Sebut Elektabilitas Gerindra dengan PDIP Beda Tipis

"Jadi, PDI Perjuangan harus bangkit, kecurangan didepan mata jangan dibiarkan, lawan ..!. Ganjar-Mahfud harus memenangkan Pilpres 2024. Jika tidak beresiko satu generasi ke depan, kelanjutan arah politik Jokowi yang selama ini sudah 'on the track' bisa melenceng. Arah reformasi akan berbalik, dan sulit direbut kembali oleh PDI Perjuangan," pungkas Cepi. (*)

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved