Pilpres 2024
Kata Puan Maharani soal Jokowi Klaim Punya Data Intelijen Arah Parpol di Pemilu 2024
Ketua DPP PDIP, Puan Maharani, memberikan respons soal perkataan Presiden Jokowi mengenai data intelijen. Jokowi pasti memiliki pertimbangan.
TRIBUNNEWS.COM - Ketua DPP PDIP yang juga Ketua DPR RI, Puan Maharani, memberikan respons soal perkataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai data intelijen partai politik (parpol).
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengaku telah mengetahui apa yang diinginkan oleh para parpol menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Perkataan tersebut kemudian menimbulkan perbincangan panas.
Baca juga: VIDEO Saat Ketua Umum PBNU Yahya Staquf Ungkap NU Tidak Akan Pernah Jauh-jauh dari Jokowi
Menurut Puan Maharani, Jokowi pasti memiliki pertimbangan tersendiri mengapa menyatakan hal tersebut.
Meski demikian, ia meminta agar bertanya langsung pada Jokowi jika ingin tahu maksud sang presiden sebenarnya.
"Pastinya Pak Jokowi punya pertimbangan dengan menyatakan hal tersebut," kata Puan Maharani dikutip dari YouTube Kompas TV, Senin (18/9/2023).
"Jadi tanyakan kembali kepada Presiden," tuturnya.
Perkataan Jokowi
Mengenai data intelijen parpol, hal ini disampaikan Jokowi di hadapan relawan pendukungnya saat membuka Rapat Kerja Nasional Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Hotel Salak, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (16/9/2023).
Dalam pernyataannya itu, Jokowi mengaku tahu parpol-parpol di Indonesia hendak melangkah ke arah mana.
"Saya tahu dalamnya partai seperti apa saya tahu, partai-partai seperti apa saya tahu."
"Ingin mereka menuju ke mana juga saya ngerti," kata Jokowi, Sabtu, dikutip dari YouTube Kompas TV.

Namun, Jokowi tidak membeberkan informasi apa yang ia ketahui dari partai-partai politik itu.
Ia hanya menjelaskan informasi itu ia dapat dari aparat intelijen, baik itu Badan Intelijen Negara (BIN), Polri, maupun TNI.
"Dan informasi-informasi di luar itu, angka, data, survei, semuanya ada, dan itu hanya miliknya Presiden karena dia langsung ke saya," ujar Jokowi.
Gubernur Lemhanas: Hati-hati Skandal Watergate
Tindakan Jokowi tersebut kemudian mengingatkan para analis soal skandal watergate yang terjadi di Amerika Serikat (AS).
Peristiwa tersebut terjadi pada 1970-an yang menyebabkan Richard Nixon mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden AS.
Peristiwa itu dimulai dengan ditangkapnya lima laki-laki yang berusaha membobol masuk ke kompleks perkantoran Komite Nasional Demokrat untuk memasang alat penyadap.
Setelah diselidiki, ternyata tindakan yang dilakukan pada masa kampanye itu digawangi oleh kelompok pendukung Nixon, Komite untuk Pemilihan Kembali Presiden.

Senat AS kemudian meluncurkan komite untuk melakukan penyidikan lebih lanjut dan akhirnya menemukan bahwa tindakan tersebut merupakan konspirasi praktik Partai Republik untuk merugikan Partai Demokrat.
Skandal tersebut kemudian berujung pada mundurnya Presiden Nixon pada pada 8 Agustus 1974.
Imbauan agar Jokowi berhati-hati, disampaikan oleh Gubernur Lemhannas, Andi Widjajanto.
Ia menilai, Jokowi sebagai presiden seharusnya tahu persis batas-batas demokratik yang harus digarisbawahi dan harus dibuat pada saat menerima laporan-laporan intelijen tersebut.
"Saya rasa Presiden Jokowi tahu persis batasan demokratis untuk menggunakan data-data intel tersebut," kata Andi, Senin.
"Tentunya data-data intel tidak bisa digunakan untuk melakukan operasi-operasi politik. Kita bisa belajar dari Skandal Watergate-nya Nixon ya misalnya, di Amerika Serikat."
"Ketika Nixon menggunakan aparat keamanan intelijennya demi kepentingan politik pribadinya, kepentingan politik dari parpolnya," sambung dia.
Sementara itu, Politikus PDIP, Masinton Pasaribu, justru menganggap wajar Jokowi memegang data intelijen terkait arah partai politik (parpol) menjelang Pemilu 2024.
Sebab, kata Masinton, Jokowi sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan memiliki banyak instrumen untuk mendapatkan informasi tersebut.
Instrumen-instrumen negara itu termasuk lembaga-lembaga intelijen.
"Tentu yang namanya presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan beliau memiliki banyak instrumen kenegaraan," tutur Masinton.
"Baik itu ada BIN ada intelijen dari kepolisian, kejaksaan dan lain-lain," kata Masinton, dikutip dari tayangan YouTube KompasTV, Minggu (17/9/2023).
Sehingga baginya adalah hal yang wajar jika seorang presiden mengetahui mengenai informasi instansi atau kendaraan politik di bawahnya.
"Ya, tentu seluruh informasi kan disampaikan ke presiden, ya tentu logis kalau presiden pasti tahu," ujarnya.
(Tribunnews.com/Deni/Milani Resti/Gita Irawan)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.