Senin, 6 Oktober 2025

Debt collector tembak warga dengan airsoft gun - Apakah revisi UU ITE bisa jadi solusi?

Praktik kekerasan penagihan utang melalui debt collector, menurut pengamat, bisa diminimalisir bahkan ditiadakan begitu revisi UU…

BBC Indonesia
Debt collector tembak warga dengan airsoft gun - Apakah revisi UU ITE bisa jadi solusi? 

Seorang warga Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, mengalami luka tembak airsoft gun oleh debt collector pada Kamis (23/11).

Pengacara yang menangani ratusan kasus pinjol, Ale Tamaela, mengatakan aksi kekerasan para penagih utang atau debt collector sudah mengerikan karena dalam beberapa kasus telah menghilangkan nyawa orang.

Korban sebenarnya bukanlah pengutang, melainkan ibu dan istri korban yang meminjam uang ke koperasi di Kecamatan Kebakkramat. Koperasi tersebut tidak termasuk sebagai Penyelenggara Fintech P2P Lending (pinjol) dan bukan merupakan anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

Meski demikian, kasus tersebut mengingatkan khalayak pada kasus yang pernah terjadi di Kalasan, Sleman, pada tahun lalu.

Sejumlah orang yang mengaku sebagai debt collector pinjaman online mendatangi rumah seorang warga dengan membawa senjata tajam.

Praktik kekerasan penagihan utang dari perusahaan pinjaman online melalui debt collector, menurut pengamat, bisa diminimalisir bahkan ditiadakan begitu revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berlaku.

AFPI menyatakan kepada BBC News Indonesia bahwa jika nasabah mengalami cara penagihan yang tidak manusiawi dan dirugikan oleh tenaga penagihan, bisa menyampaikan laporan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau AFPI.

Bagaimana kasus yang terjadi di Karanganyar?

Kapolsek Ngargoyoso, Iptu Sri Hajar Budianto, mengatakan, kasus ini berawal ibu dan istri korban yang meminjam uang ke koperasi yang ada di Kecamatan Kebakkramat.

"Korban tidak memiliki utang, yang memiliki pinjaman adalah istri korban dan ibu korban," kata Sri, sebagaimana dikutip Kompas.com

Menurut Sri, istri korban meminjam ke koperasi tempat pelaku bekerja sebesar Rp 1,5 juta. Sementara sang ibu meminjam Rp 1 juta ke koperasi yang sama.

Pinjaman tersebut memiliki angsuran yang harus dibayar setiap bulan.

"Istri korban pinjam Rp1,5 juta dan sudah diangsur tiga kali dengan nilai angsuran Rp225 ribu per bulan," ucap Sri.

"Sedangkan ibu korban, pinjam Rp1 juta dan sudah diangsur delapan kali dengan angsuran Rp150 ribu per bulan," imbuhnya.

Peristiwa penembakan terhadap DA terjadi pada Kamis (23/11) sekira pukul 12.25 WIB.

Iptu Sri Hajar Budianto berkata pelaku SA bersama rekannya Ry mendatangi rumah korban untuk menagih angsuran.

Namun kedatangan para penagih utang itu membuat kesal korban. Sebabnya, angsuran yang harus dibayarkan itu sudah ditransfer ke rekening debt collector Ry oleh istri korban.

Selain itu korban juga tak mau depan rumahnya dijadikan tempat transaksi pembayaran utang nasabah lain oleh debt collector tersebut.

"Di sinilah korban tidak berkenan karena pelaku bermaksud menunggu di area rumah korban. Akhirnya terjadilah cekcok mulut," ucap Kapolres Ngargoyoso, Iptu Sri Hajar Budianto seperti dilansir Tribunnews.com.

Kesalahpahaman itu, sambung polisi, menimbulkan keributan sampai akhirnya pelaku SA menembakkan airsoft gun jenis Revolver ke arah korban sebanyak enam kali.

Enam peluru itu mengenai kepala belakang sebanyak tiga kali, kening satu kali, telinga kiri satu kali, dan dahi satu kali.

Dalam kondisi luka parah, korban yang merupakan petugas jaga tiket lokasi wisata air terjun Jumog melaporkan kejadian yang menimpanya ke Mapolsek Ngargoyoso.

Tapi saat polisi tiba di rumah korban, para pelaku sudah kabur.

Pelaku, kata Sri, berhasil ditangkap di warung fotokopi yang tak jauh dari lokasi rumah korban.

Dari hasil pemeriksaan diketahui pelaku merupakan penagih utang dari koperasi yang berkantor di Kebakkramat, Kabupaten Karanganyar.

"Pelaku SA sudah kami tetapkan sebagai tersangka atas kejadian penganiayaan terhadap warga Berjo," jelas Kasatreskrim Polres Karanganyar AKP Setiyoko.

Pelaku bakal dijerat dua pasal yakni Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dan UU Darurat nomor 12 tahun 1951 terkait kepemilikan senjata tajam.

Bagaimana kondisi korban?

Korban DA telah menjalani operasi pengambilan peluru airsoft gun di RSUD Kartini Karanganyar pada Jumat (24/11) dan kondisinya mulai membaik di kamar rawat inap.

Kasubbag Hukum dan Humas RSUD Kartini Karanganyar, RM Andianto Budi Utomo, menjelaskan operasi dilakukan untuk mengambil peluru yang bersarang di kepala korban.

Selain kepala, seluruh peluru yang ada di tubuh korban berhasil diangkat.

"Peluru sudah terambil semua, kondisi pasien sudah stabil dan baik. Saat ini masih rawat inap pasca operasi," ucapnya.

Aksi kekerasan debt collector 'sudah mengerikan'

Pengacara yang menangani ratusan kasus pinjaman online alias pinjol, Ale Tamaela, mengatakan tindakan kekerasan para penagih utang yang cenderung sampai menyebabkan nyawa seseorang melayang sudah beberapa kali terjadi.

Dari kasus-kasus yang ditangani, praktik kekerasan oleh debt collector terjadi karena mereka dikejar target dan tak adanya pelatihan bagaimana cara menagih utang sesuai ketentuan yang berlaku.

"Makanya agak keras, berhubung juga tidak adanya pelatihan khusus dalam hal ini seperti training untuk penagihan utang," ujar Ale kepada BBC News Indonesia, Senin (27/11).

"Jadinya hukum rimba terjadi, siapa yang punya utang harus melunasi sampai terjadi penyitaan barang yang seharusnya tidak boleh," sambung Ale sembari menambahkan bahwa urusan utang-piutang termasuk hukum perdata.

Sebelum insiden penembakan di Karanganyar, viral kasus serupa juga pernah terjadi di Kalasan, Sleman, pada tahun lalu.

Sejumlah orang yang mengaku sebagai debt collector pinjol mendatangi rumah seorang warga dengan membawa senjata tajam.

Penagih utang itu dilaporkan menganiaya pemilik rumah yang tidak terlibat pinjol.

Ale juga menyebut selain kekerasan, para debt collector biasanya meneror nasabah dengan menyebarkan identitas dan foto korban yang sudah diedit.

Ancaman seperti itu paling sering terjadi dan para korban tak tahu harus melaporkan kemana.

"Yang mengerikan mereka bergerak tanpa melihat dari segi hukum itu sendiri makanya perlu adanya aturan yang tegas tidak abu-abu untuk masalah ini," imbuhnya.

Merujuk pada aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), proses penagihan yang dilakukan baik oleh perusahaan pinjol maupun penagihan dari pihak ketiga ada acuannya.

Pertama, tidak menggunakan ancaman atau mempermalukan nasabah.

Kedua, tidak menggunakan kekerasan fisik maupun verbal dalam penagihan.

Ketiga, dilarang menyebarkan data pribadi terkait proses penagihan utang dan terakhir tidak menagih ke pihak lain yang bukan terutang.

Selanjutnya dalam proses penagihan ke debitur, debt collector diwajibkan membawa sejumlah dokumen di antaranya kartu identitas, sertifikat profesi dari lembaga resmi, surat tugas dariperusahaan pembiayaan, dan bukti jaminan fidusia.

Tak cuma itu saja, perusahaan pembiayaan pinjol juga wajib terlebih dahulu mengirim surat peringatan kepada debitur terkait kondisi kolektibilitas yang sudah macet untuk menghindari perselisihan.

Jika nasabah mengalami cara penagihan yang tidak manusiawi dan dirugikan oleh debt collector bisa melapor ke OJK atau Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

Revisi UU ITE jadi solusi?

Pengamat ekonomi digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan selama ini tidak ada aturan yang tegas soal larangan menyebarkan atau memberikan informasi pribadi ke pihak ketiga untuk tujuan penagihan utang-piutang.

Namun RUU Perubahan Kedua atas revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 27B disebut bisa menjadi solusi atas persoalan tersebut.

Pasal 27B ayat 2B menyebutkan: setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapuskan piutang.

Kalau melanggar, pinjol dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar, sebagaimana tercantum pada pasal 45 ayat 10b.

Jika berkaca pada pasal tersebut, maka menurut Nailul Huda, artinya platform pinjaman online alias pinjol akan dilarang untuk memberikan data ke pihak ketiga untuk tujuan menagih utang dengan kekerasan dan ancaman siber.

"Jadi baik menggunakan debt collector atau tidak, tidak boleh lagi ada kekerasan maupun ancaman siber. Aturannya sudah jelas apabila ada pihak yang menyebarkan informasi ataupun teror maka bisa dikenakan pasal 27B UU ITE," jelasnya kepada BBC News Indonesia, Senin (27/11).

Nailul Huda juga berkata, keberadaan pasal ini merupakan hal positif lantaran sudah sering terjadi kekerasan dan ancaman virtual kepada nasabah pinjol yang mengalami kesulitan bayar.

Adapun bagi perusahaan pinjol, sambungnya, akan berimbas baik sebab mereka semakin bisa lebih bersahabat dengan masyarakat.

"Jadi strateginya bukan di penagihannya namun strateginya untuk mencegah borrower [penerima pinjaman] tidak berkualitas yang ingin masuk."

Perusahaan pinjol juga akan menekankan pada credit scoring atau penilaian yang dijadikan dasar pertimbangan menyalurkan dana pinjaman.

Menurut dia, penilaian itu penting untuk melihat kemampuan bayar calon peminjam.

Kapan revisi UU ITE disahkan?

Revisi Kedua Undang-Undang No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sudah selesai dibahas oleh Komisi I DPR dan siap dibawa ke rapat paripurna mendatang untuk disahkan.

Adapun perubahan dari UU ITE yang yang tercantum dalam revisi ini meliputi sejumlah pokok penting yang terdiri atas 38 daftar inventarisasi masalah (DIM) dan sejumlah tambahan.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pun menargetkan revisi kedua UU ITE akan selesai pada Desember 2023.

"Ya harusnya tahun ini, Insyaallah, soalnya sudah setahun (pembuatan revisi kedua UU ITE)," ujar Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Kemenkominfo Semuel Abrijani Pangerapan di Kantor Kemenkominfo, Kamis (23/11).

Sejak dirumuskan delapan tahun lalu, RUU ini telah mengalami revisi berkali-kali. Sebab, beleid ini langsung bersentuhan dengan masyarakat.

Menteri Kominfo, Budi Arie, menyadari, ada beberapa pasal karet dan bisa mengancam kebebasan berpendapat di Indonesia.

"Perjalanan delapan tahun hingga sekarang menunjukkan dinamika dalam masyarakat yang menginginkan penyempurnaan terhadap pasal-pasal UU ITE khususnya terkait ketentuan pidana konten ilegal," kata Budi Arie di Gedung DPR.

Artikel ini telah diperbarui dengan memasukkan keterangan dari Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

Sumber: BBC Indonesia
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved