Pilpres Turki: Apa artinya bila Erdogan berkuasa lima tahun lagi?
Presiden Erdogan diperkirakan akan memenangkan pemilihan presiden Turki setelah pemilihan yang sangat mempolarisasi.
Setelah dua dekade berkuasa dan lebih dari selusin pemilihan umum, pemimpin otoriter Turki Recep Tayyip Erdogan tahu persis cara memikat massa.
Pada sebuah pertemuan sopir taksi di Istanbul, mereka tergila-gila kepadanya.
Dia mengendalikan kerumunan bagaikan seorang konduktor orkestra.
Mereka bersorak dan bertepuk tangan - dan mencemooh oposisi - hanya dengan isyarat darinya.
Tempat itu adalah pusat konvensi tepi laut di Istanbul, dibangun ketika ia menjabat sebagai wali kota.
Pawai mencapai puncaknya ketika sang presiden menyampaikan salam perpisahannya: "Satu Bangsa, Satu Bendera, Satu Tanah Air, Satu Negara."
Saat itu, banyak pengemudi yang sudah tua berdiri, meninju udara atau mengangkat satu tangan untuk memberi hormat.
Ayse Ozdogan, seorang perempuan berpakaian konservatif dan mengenakan jilbab, datang lebih awal bersama suaminya yang bekerja sebagai sopir taksi untuk mendengar pidato sang pemimpin.
Sebuah kruk bersandar di kursi kosong sebelah tempat dia duduk. Perempuan itu berjalan saja sulit, tetapi dia memaksakan diri untuk datang.
Pesan nasionalis sang presiden memikat banyak orang di kerumunan, termasuk Kadir Kavlioglu, pria berusia 58 tahun yang sudah 40 tahun menjadi sopir minibus. "Karena kami mencintai tanah air dan bangsa kami, kami berjalan dengan mantap di belakang presiden."
"Kami bersamanya di setiap langkah," katanya. "Mau harga kentang dan bawang naik atau turun. Presidenku yang tercinta adalah harapan kami."
Ketika warga Turki pergi ke bilik suara awal bulan ini, mereka tidak memilih dengan dompet mereka.
Harga makanan sedang meroket. Inflasi berada di level 43%.
Tetapi Presiden Recep Tayyip Erdogan - yang mengendalikan ekonomi dan banyak hal lain di sini - tetap menjadi yang terdepan dengan perolehan suara 49,5%.
Itu membingungkan para analis dan menjadi sebuah pelajaran — jangan terlalu percaya pada survei.
Negara yang terpolarisasi
Saingannya, Kemal Kilicdaroglu, pemimpin oposisi yang beraliran sekuler, mendapat 44,9%.
Jadi, para pemilih di negara yang terpolarisasi ini terpecah — kedua belah pihak berlawanan tegas tetapi bedanya hanya 4%.
Kandidat ultra-nasionalis, Sinan Ogan, tak disangka mendapat 5,2%, mendorong pilpres ke putaran kedua yang akan berlangsung hari Minggu ini.
Ogan sekarang telah mendukung Presiden Erdogan.
Mengapa sebagian besar pemilih tetap memilih Erdogan kendati dilanda krisis ekonomi, serta respons lambat pemerintah terhadap bencana gempa pada bulan Februari yang menewaskan sedikitnya 50.000 orang?
"Saya rasa dia adalah politisi Teflon [terhebat]," kata Profesor Soli Ozel, dosen hubungan internasional di Universitas Kadir Has Istanbul.
"Dia juga punya daya tarik bagi masyarakat umum. Anda tidak bisa menyangkalnya. Dia memancarkan kekuatan. Itu satu hal yang tidak dilakukan Kilicdaroglu."
Kilicdaroglu, yang didukung oleh aliansi oposisi beranggotakan enam partai, dahulu memancarkan harapan, serta menjanjikan kebebasan dan demokrasi.
Namun setelah kekecewaan pada putaran pertama, dia berbelok tajam ke kanan.
Sekarang citranya tidak lagi seorang kakek yang perhatian melainkan seorang nasionalis garis keras.
"Ini perlombaan ke bawah," menurut seorang jurnalis Turki.
"Saya mengumumkan di sini bahwa saya akan mengirim semua pengungsi kembali ke rumah mereka begitu saya terpilih sebagai Presiden, titik," kata Kilicdaroglu pada pawai pemilihan baru-baru ini.
Itu termasuk lebih dari tiga juta warga Suriah yang melarikan diri dari perang di negara asal mereka. Ini adalah pesan yang diterima dengan baik di Turki.
Siapa pun presiden Turki berikutnya, nasionalisme dipastikan menjadi pemenangnya.
Para pemilih telah memilih parlemen paling nasionalis dan konservatif yang pernah ada, dan koalisi Partai AK (Keadilan dan Pembangunan) Erdogan yang saat ini berkuasa berhasil mempertahankan kendali.
Bagi beberapa pemilih muda, seakan-akan hasilnya sudah pasti.
Duduk di sofa merah di bawah bendera pelangi, Zeynep, 21 tahun, dan Mert, 23 tahun, menyajikan secangkir teh Turki panas dan mengungkapkan kekhawatiran tentang masa depan.
Keduanya belajar psikologi di Universitas Bogazici, kampus yang dihormati dengan riwayat gerakan protes mahasiswa yang sekarang ditekan.
Persahabatan mereka dimulai di klub LGBTQ+ universitas, yang sekarang sudah ditutup.
Parade gay telah dilarang sejak 2015.
Selama kampanye pemilu, Presiden Erdogan menyasar komunitas tersebut.
"Tidak ada orang LGBT yang keluar dari negara ini," katanya dalam satu pawai yang penuh sesak di Kota Izmir. "Kita tidak akan menodai struktur keluarga kita. Berdirilah tegak seperti laki-laki, keluarga kita seperti itu."
Komunitas LGBTQ+ sekarang semakin dalam bahaya, menurut Mert, yang rambutnya hitam sebahu dan mengenakan anting.
"Erdogan sendiri, dalam setiap pidatonya, di setiap acara yang dia adakan, telah mulai menjabarkan kami sebagai target," katanya. "Hari demi hari, negara membuat kami menjadi musuh."
Abad baru Turki
"Apa yang dikatakan pemerintah berdampak pada masyarakat. Anda melihatnya tercermin pada orang-orang terdekat Anda, bahkan dalam keluarga Anda. Kalau ini terus berlanjut, lalu apa selanjutnya? Kami akhirnya selalu hidup waspada, selalu tegang, selalu ketakutan," katanya.
Zeynep - yang memiliki mata gelap dan gerakan tangan yang ekspresif - masih mengharapkan era baru tetapi paham itu mungkin tidak akan datang. "Usia saya 21 tahun dan mereka sudah 20 tahun di sini," katanya.
"Saya menginginkan perubahan dan kalau itu tidak terwujud saya akan sedih dan takut. Mereka akan semakin menyerang kami; Mereka akan merampas lebih banyak hak kami. Mereka akan melarang lebih banyak hal, saya pikir. Tapi kami masih akan melakukan sesuatu, kami masih akan berjuang."
Pada hari Minggu, para pemilih akan berangkat ke tempat pemungutan suara untuk pemilihan presiden pertama dalam sejarah Turki yang menempatkan negara mereka pada titik balik.
Sudah hampir 100 tahun sejak Turki didirikan oleh Mustafa Kemal Ataturk sebagai republik sekuler.
Recep Tayyip Erdogan menjanjikan "abad Turki" baru jika dia terpilih kembali.
Para pendukungnya mengatakan dia akan memberikan lebih banyak pembangunan dan Turki yang lebih kuat.
Sementara para pengkritiknya mengatakan dia akan mengurangi pengaruh Ataturk, melakukan lebih banyak Islamisasi, dan membawa masa depan yang lebih gelap.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.