Rusia Sebut Amerika Serikat Telah Kehilangan Dukungan Mayoritas Dunia
Ketua parlemen Rusia mengatakan hasil pemungutan suara terbaru di Dewan Keamanan PBB menunjukkan bahwa AS telah kehilangan dukungan mayoritas dunia.
TRIBUNNEWS.COM - Ketua parlemen Rusia mengatakan hasil pemungutan suara terbaru di Dewan Keamanan PBB menunjukkan bahwa AS telah kehilangan dukungan dari mayoritas populasi dunia.
Pemungutan suara diambil untuk menentukan apakah sanksi perlu diperkuat terhadap Korea Utara atas peluncuran rudal balistik baru, Kamis (26/5/2022).
Rusia dan China memveto usulan tersebut.
Dilansir AlJazeera, Vyacheslav Volodin menyebut pendapatnya itu sudah terbukti pada bulan Maret lalu, yaitu ketika Majelis Umum PBB mempertimbangkan untuk mengutuk invasi Rusia ke Ukraina.
"Empat puluh negara menolak untuk menentang Rusia, termasuk China, India, Iran, Irak, Vietnam, Afrika Selatan, Aljazair, Pakistan, dan lainnya."
"Populasi negara-negara bagian ini adalah 4,47 miliar orang, atau 57,3 persen dari populasi dunia," kata Volodin.
"Seringkali di balik keputusan mayoritas di PBB, pada kenyataannya, ada minoritas."
Baca juga: AS Kecewa, China dan Rusia Veto Sanksi Baru Dewan Keamanan PBB untuk Korea Utara
Baca juga: Resolusi Memperkuat Sanksi Terhadap Korea Utara Ditolak, Jepang Minta PBB Direformasi
"Joe Biden berusaha untuk mereformasi PBB untuk mempertahankan posisi Amerika Serikat."
"Dia sangat ingin melestarikan model unipolar, yang sudah usang," kata Volodin.
Sanksi terhadap Korea Utara

Diberitakan sebelumnya, China dan Rusia telah memveto upaya untuk memperketat sanksi terhadap Korea Utara setelah serentetan peluncuran rudal tahun ini, AlJazeera melaporkan.
Ini adalah pertama kalinya sejak tahun 2006 terjadi perbedaan pendapat antara lima anggota tetap dewan keamanan PBB, yaitu China, Prancis, Rusia, Inggris dan Amerika Serikat.
13 anggota dewan yang tersisa semuanya memberikan suara mendukung usulan yang dirancang oleh Amerika Serikat itu.
Sanksi yang disusulkan berupa pelarangan ekspor tembakau dan minyak ke Korea Utara.
Dewan Keamanan PBB telah memberlakukan sanksi setelah Korea Utara melakukan uji coba nuklir pertama pada tahun 2006 dan menambahnya selama bertahun-tahun kemudian.
Tahun ini saja, Korea Utara telah melakukan total 23 peluncuran rudal.
Amerika Serikat Kecewa
Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield menyebut pemungutan suara itu sebagai "hari yang mengecewakan" bagi dewan.
"Dunia menghadapi bahaya yang nyata dan sekarang dari DPRK (Korea Utara)," katanya kepada dewan, menggunakan nama resmi negara itu, Republik Rakyat Demokratik Korea.
"Pengekangan dan keheningan dewan tidak menghilangkan atau bahkan mengurangi ancaman. Jika ada, DPRK telah berani."
Ia mengatakan Washington telah menilai bahwa Korea Utara telah melakukan enam peluncuran ICBM tahun ini dan secara aktif bersiap untuk melakukan uji coba nuklir.
Utusan Inggris, Prancis dan Korea Selatan menyuarakan ketakutan yang sama.
Pyongyang terakhir melakukan uji coba nuklir pada 2017.
"Menggunakan hak veto berarti melindungi rezim Korea Utara dan memberikan kekuasaan penuh untuk meluncurkan lebih banyak senjata," kata duta besar Prancis, Nicolas de Riviere.
Setelah memveto diberlakukannya sanksi tambahan, China dan Rusia mengatakan kepada Dewan Keamanan bahwa AS perlu meningkatkan dialog dengan Korea Utara daripada memilih untuk menjatuhkan lebih banyak sanksi.

Kedua negara meminta agar sanksi dilonggarkan dengan alasan kemanusiaan.
"Pengenalan sanksi baru terhadap DPRK [Korea Utara] adalah jalan menuju jalan buntu," ujar Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia mengatakan kepada dewan.
"Kami telah menekankan ketidakefektifan dan ketidakmanusiawian untuk lebih memperkuat tekanan sanksi terhadap Pyongyang."
Duta Besar China untuk PBB Zhang Jun mengatakan sanksi tambahan terhadap Korea Utara hanya akan menyebabkan lebih banyak "efek negatif dan eskalasi konfrontasi."
"Situasi di Semenanjung telah berkembang menjadi seperti sekarang ini terutama berkat kebijakan AS yang gagal dan kegagalan untuk menegakkan hasil dialog sebelumnya," katanya kepada dewan.
Pembicaraan denuklirisasi telah terhenti sejak 2019 ketika pertemuan puncak di Vietnam antara pemimpin Korea Utara Kim Jong Un dan Presiden AS Donald Trump yang lenyap tanpa kesepakatan.
Pemerintahan Presiden Joe Biden telah berulang kali mengatakan pihaknya bersedia untuk berbicara dengan Korea Utara tanpa prasyarat tetapi tidak akan membuat "tawar-menawar besar".
Sementara itu, Pyongyang, telah menunjukkan sedikit minat dalam pembicaraan tingkat kerja.
Majelis Umum PBB sekarang akan membahas Korea Utara dalam dua minggu ke depan di bawah aturan baru yang mewajibkan badan yang beranggotakan 193 orang itu untuk bertemu setiap kali veto diberikan di Dewan Keamanan oleh salah satu dari lima anggota tetap.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)