Konflik Rusia Vs Ukraina
Menlu Rusia Sergei Lavrov : Negara Barat Memilih Semakin Diktator
Menlu Rusia Sergei Lavrov mengungkapkan prospek sikap dan rencana geopolitik Rusia. Rusia akan bekerjasama dengan negara-negara bebas.
TRIBUNNEWS.COM, MOSKOW - Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menyatakan Moskow mengharapkan peningkatan kerjasama ekonomi dengan Cina dan negara-negara di Asia karena barat menjadi lebih dictator.
Prospek geopolitik Rusia itu disampaikan Lavrov di depan para siswa Akademi Primakov, sebuah sekolah menengah elite Moskow yang dinamai salah satu pendahulunya, Senin (23/5/2022).
Lavrov menegaskan kembali tentang masa depan dan rencana ekonomi dan politik Moskow dan hubungannya dengan barat
Rusia bermaksud membangun lebih intens lagi hubungan dengan negara-negara merdeka dan akan memutuskan bagaimana berurusan dengan barat jika ketika itu masuk akal.
“Sekarang barat semakin mengambil posisi diktator, hubungan ekonomi kami dengan China akan tumbuh lebih cepat lagi,” kata Lavrov dikutip Russia Today, Selasa (24/5/2022) WIB.
Baca juga: Menlu Sergei Lavrov : Negara Barat Selama Ini Bungkam Atas Nasib Rakyat Donbass
Baca juga: Menlu Rusia Sergei Lavrov Tuding Negara Barat Biasa Jadi Maling Aset Asing
Baca juga: Menlu Sergei Lavrov Sebut Pejabat Amerika Skizofrenik Terkait Kebijakan AntiRusia
“Selain meningkatkan pendapatan negara, (situasi) ini akan memberi kami kesempatan mengimplementasikan rencana pengembangan Timur Jauh dan Siberia Timur,” tambahnya.
“Mayoritas proyek dengan China terkonsentrasi di sana. Ini adalah kesempatan bagi kita untuk menyadari potensi kita di bidang teknologi tinggi, termasuk energi nuklir, dan sejumlah bidang lainnya,” imbuh diplomat senior ini.
Barat Tak Peduli Krisis Donbass
Pernyataan Lavrov itu merespon program “100 Pertanyaan untuk Pemimpin”, program acara Akademi Moskow.
Evgeny Primakov menjabat Menteri Luar Negeri Rusia dari 1996-1998, dan setelah itu menjadi Perdana Menteri Rusia.
Mengatasi gejolak yang sedang berlangsung di Ukraina, Lavrov mengatakan Moskow telah mencoba menyelesaikan krisis Donbass dengan meminta Kiev menerapkan Protokol Minsk.
Tetapi negara barat hanya berpura-pura peduli dengan pembicaraan tersebut, dan sebaliknya mendorong posisi arogan rezim Kiev.
Sekarang menurut Lavrov, barat marah terhadap Rusia yang membela kepentingan fundamentalnya yang benar-benar sah.
“Mantra nyanyian barat dan menyatakan mereka harus mengalahkan Rusia, atau membuat Rusia kalah di medan perang tanpa memahami sejarah atau sifat pemimpin Rusia,” tambahnya.
“Mereka pasti berprestasi buruk di sekolah,” canda Lavrov. “Saya yakin ini pada akhirnya akan berakhir. Barat pada akhirnya akan mengakui kenyataan di lapangan,” lanjutnya.
“Ia akan dipaksa mengakui tidak dapat terus-menerus menyerang kepentingan vital Rusia – atau Rusia, di mana pun mereka tinggal – dengan impunitas,” tambah Lavrov.
Jika kata Lavrov, ketika barat sadar dan ingin menawarkan sesuatu dalam hal melanjutkan hubungan, Rusia akan dengan serius mempertimbangkan apakah kita akan membutuhkannya atau tidak.
Moskow tidak hanya menerapkan strategi substitusi impor sebagai tanggapan terhadap sanksi anti-Rusia, tetapi dengan cara apa pun harus berhenti bergantung pada pasokan apa pun dari barat
Rusia, jelas Lavrov, akan mengandalkan kemampuannya sendiri dan negara-negara yang telah terbukti keandalan mereka dan bertindak secara independent.
Jurnalis Belanda Bersikap
Sikap dictatorial barat satu di antaranya ditunjukkan aneka pembatasan, sensor dan pelarangan media Rusia untuk dijangkau masyarakat barat.
Sebagai responnya, komunitas wartawan dan penyedia internet Belanda keberatan dengan langkah-langkah sensor yang dinilai tidak demokratis.

Koalisi wartawan Belanda, penyedia internet dan kelompok masyarakat sipil mengajukan gugatan hukum terhadap keputusan Uni Eropa untuk melarang media Russia Today dan Sputnik ke Pengadilan Eropa.
Meskipun mereka tidak mendukung konten dari salah satu outlet, koalisi mengatakan sensor yang diterapkan tergesa-gesa tidak demokratis dan menimbulkan pertanyaan konstitusional.
Dewan Menteri Uni Eropa melarang media penyiaran digital RT dan Sputnik pada 2 Maret, terkait engutip konflik di Ukraina.
Pelarangan dilakukan sampai Rusia berhenti melakukan, apa yang mereka sebut tindakan disinformasi dan manipulasi informasi terhadap Uni Eropa dan negara-negara anggotanya.
“Itu keputusan politik tergesa-gesa, yang dilakukan tanpa melakukan keadilan terhadap kebebasan informasi yang diabadikan dalam perjanjian hak asasi manusia, yang merupakan dasar dari demokrasi kita,” kata Asosiasi Jurnalis Belanda (NVJ), Senin.
NVJ bergabung dengan Dana Kebebasan Pers (Persvrijheidsfonds) dan tiga penyedia layanan internet untuk menantang larangan tersebut di hadapan ECJ yang berbasis di Luksemburg.
Gugatan akan diajukan Selasa (24/5/2022). “Kami bukan penggemar RT dan Sputnik,” kata Thomas Bruning dari NVJ mengatakan kepada penyiar publik Belanda NOS, sembari menyebut outlet itu propaganda negara.
Namun, tambahnya, larangan tersebut mencegah siapa pun untuk dapat meminta informasi itu, termasuk ilmuwan dan jurnalis. Kami tidak berpikir itu terserah para pemimpin pemerintah Eropa untuk menentukan apa yang bisa dan tidak bisa ditemukan di internet.
Bukti Sumbat Hak Kebebasan
Koalisi berusaha untuk mengatasi legitimasi dan proporsionalitas larangan tersebut, dan menurut NVJ apakah langkah-langkah sensor yang tidak demokratis dibenarkan.
“Fakta ISP harus memblokir akses ke informasi sebagai akibat dari tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip netralitas bersih,” kata Anco Scholte ter Horst, Direktur Penyedia Internet Freedom Internet.
“Di negara konstitusional yang demokratis, internet yang bebas dan terbuka mutlak diperlukan,” imbuhnya. Scholte ter Horst menggambarkan larangan UE untuk NOS sebagai keputusan panik dan tergesa-gesa.
Keputusan itu tidak proporsional dan membuka pintu untuk lebih banyak pembatasan seperti itu menunjukkan ISP sebelumnya telah diberitahu mereka tidak dapat mengganggu konten pada prinsip netralitas bersih.
Ini adalah ancaman bagi internet terbuka. Sebagai akibat larangan Uni Eropa, siaran RT dan Sputnik – dan bahkan akun mereka di beberapa platform media sosial – tidak dapat diakses di wilayah blok tersebut.
Australia, Kanada dan Inggris mengikutinya. AS memiliki larangan konstitusional terhadap sensor terang-terangan, tetapi YouTube yang berbasis di Lembah Silikon telah memblokir akun RT dan Sputnik.
Mengutuk penyensoran, Wakil Pemimpin Redaksi RT Anna Belkina mengatakan para pengkritiknya tidak menunjuk satu contoh, satu butir bukti apa yang telah dilaporkan RT selama ini, dan terus melaporkan, tidak benar.
Rusia telah membalas dengan memblokir situs beberapa outlet negara Barat, seperti BBC, Deutsche Welle, dan Radio Free Europe/Radio Liberty dan Svoboda yang dikelola AS.
Awal bulan ini, Moskow juga mencabut visa dan kredensial stasiun televisi Kanada CBC, mengutip keputusan Kanada pada Maret melarang siaran RT dalam bahasa Inggris dan Prancis.(Tribunnews.com/RussiaToday/xna)