Konflik Rusia Vs Ukraina
Sulit Akses Aset, Rusia Minta Bantuan China untuk Simpan Emas Sebesar 300 Miliar Dolar AS
Sanksi ekonomi telah dirasakan oleh Rusia. Salah satunya kesulitan dalam mengakses dana cadangan emas sebesar 300 miliar dolar AS di China.
TRIBUNNEWS.COM - Rusia telah berkomunikasi dengan China untuk memberikan bantuan berupa menahan aset berupa emas yang dimilikinya.
Sebagai informasi, sanksi oleh negara-negara Barat tidak hanya diberikan kepada Rusia, tetapi juga terhadap Negeri Tirai Bambu tersebut.
Dikutip dari Aljazeera, Amerika Serikat (AS) telah memperingatkan China agar tidak terlibat dalam hal apapun terkait dampak dari invasi Rusia ke Ukraina khususnya sanksi ekonomi.
Menteri Keuangan Rusia, Anton Siluanov mengatakan, sanksi yang diberikan telah menghambat akses pihaknya terhadap aset berupa emas sebesar 300 miliar dolar AS dari total sebanyak 640 miliar dolar AS.
Siluanov menyatakan, aset tersebut merupakan dana cadangan yang disimpan pemerintah Rusia di luar negeri.
Baca juga: Profil Brent Renaud Jurnalis AS yang Tewas Ditembak Pasukan Rusia, Raih Banyak Penghargaan Bergengsi
Baca juga: Rusia Mulai Bidik Pasar India untuk Perluas Penjualan Minyak dan Gas
Ditambah, kata Siluanov, masih ada tekanan dari negara-negara Barat kepada Rusia untuk menutup akses aset dari Rusia.
"Kita memiliki andil dalam mata uang China yaitu yuan di mana di dalamnya terdapat emas serta dana cadangan dari luar negeri."
"Selain itu, kita akan melihat tekanan seperti apa yang akan diberikan oleh negara Barat terhadap China terkait kerjasama yang telah kita sepakati," ujar Siluanov.
"Tentu saja juga terdapat desakan untuk membatasi akses dana tersebut," imbuhnya.
Siluanov juga menganggap kerjasamanya dengan China menjadi dasar untuk kedua negara dapat berhubungan dan dirinya menginginkan hubungan tersebut semakin meningkat ketika sanksi dari negara Barat semakin masif dilakukan.
"Namun, saya menganggap bahwa hubungan Rusia dengan China masih memperbolehkan kita untuk menjaga kerjasama yang telah disetujui."
"Selain itu tidak hanya dalam hal menjaga hubungan tetapi juga meningkatkan manfaat dari kerjasama tersebut ketika pasar di Barat telah ditutup," tuturnya.
Sebagai informasi, negara Barat telah menjatuhkan sanksi kepada perusahan serta sistem finansial Rusia sejak invasi yang dilakukannya terhadap Rusia sejak pertama kali dilakukan yakni 24 Februari 2022.
Baca juga: Jika Zona Larangan Terbang Tidak Diperkenalkan di Ukraina Rudal Rusia akan Hantam Negara-negara NATO
Hanya saja, dalam sebuah wawancara di sebuah stasiun televisi di Rusia, Siluanov telah menyatakan pihak Rusia membutuhkan bantuan dari China terhadap keuangan negaranya.
Namun, penasihat Badan Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan telah mengingatkan China agar tidak terlibat apapun atas apa yang dilakukan oleh Rusia.
"Kita telah berkomunikasi secara langsung dan tertutup terhadap Beijing bahwa sanksi secara masif terhadap Rusia akan berdampak luas."
“"Sehingga dalih untuk membantu Rusia oleh China akan berdampak luas pula," ujar Sullivan.
"Kita tidak akan mengijinkan negara manapun untuk menjadi 'rekan perlindungan' Rusia terkait sanksi ekonomi yang diterimanya," imbuhnya.
Kerjasama Rusia-China

China telah menjadi satu dari beberapa negara yang enggan untuk mengkritisi invasi Rusia ke Ukraina.
Hal konkret yang dilakukan adalah ketika Presiden China, Xi Jinping menerima kehadiran Presiden Rusia, Vladimir Putin ketika pembukaan Olimpiade Musim Dingin di Beijing.
Diterimanya Putin oleh Xin Jinping adalah seminggu sebelum Rusia melakukan invasi.
Selama kunjungan Putin ke China bulan lalu, kedua pemimpin tersebut dikabarkan telah mendeklarasikan hubungan ‘tanpa batas’ dan dibuktikan dengan adanya pernyataan di dalam sebuah perjanjian yang berjumlah 5.000 kata.
Pemerintah China juga telah mengatakan kepada AS agar tidak mempermasalahkan kerjasama yang dilakukan Rusia terhadap negaranya.
Baca juga: Pertempuran Sengit di Irpin, Pasukan Ukraina Menembak ke Segala Arah untuk Menghalau Rusia
Pihak China menyatakan apabila AS mempermasalahkan kerjasama negaranya maka negara adidaya tersebut juga harus mengingat invasi terhadap Rusia yang ternyata ‘salah target’.
Sebagai informasi, invasi AS ke Irak berawal dari adanya dugaan temuan bahwa mantan Presiden Irak, Saddam Hussein menimbun senjata pemusnah masal.
Namun ternyata dugaan AS tersebut salah karena ketika ditelusuri, senjata pemusnah massal tersebut tidak pernah ditemukan hingga saat ini.
Sementara dalam kerjasama ekonomi antara China-Russia, negara pimpinan Putin tersebut adalah pasar ekspor terbesar China setelah Uni Eropa.
Baca juga: Rusia Tembakkan 30 Rudal ke Perbatasan Polandia Setelah Ancam Serang Pengiriman Senjata ke Ukraina
Buktinya sepanjang tahun 2021, berdasarkan data dari bea cukai China, Rusia mengekspor China dengan nilai sebesar 79,3 miliar dolar AS.
Ekspor tersebut didominasi oleh migas dengan persentase sebsar 56 persen dari total ekspor Rusia ke China.
(Tribunnews.com/Yohanes Liestyo Poerwoto)
Artikel lain terkait Konflik Rusia Vs Ukraina