Militer AS dan Jepang Unjuk Kekuatan ke China, Gelar Latihan Perang Berskala Besar
Berlangsung hingga 5 November, Keen Sword akan mencakup pelatihan perang dunia maya dan elektronik untuk pertama kalinya.
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Jepang dan Amerika Serikat (AS) pada Senin (26/10/2020) memulai latihan militer darat, laut, dan udara di sekitar Jepang, sebagai unjuk kekuatan dalam menghadapi peningkatan aktivitas militer China di wilayah tersebut.
Keen Sword adalah latihan militer skala besar pertama sejak Yoshihide Suga menjadi Perdana Menteri Jepang bulan lalu, dengan janji melanjutkan pembangunan militer yang bertujuan melawan China, yang mengklaim pulau-pulau yang dikuasai Jepang di Laut China Timur.
Keen Sword yang digelar setiap dua tahun itu melibatkan puluhan kapal perang, ratusan pesawat, dan 46.000 tentara, pelaut, dan marinir dari Jepang dan AS.
Baca juga: Di Balik Kunjungan Menlu AS ke Indonesia, Benarkah Amerika Takut Indonesia-China Makin Dekat
Berlangsung hingga 5 November, Keen Sword akan mencakup pelatihan perang dunia maya dan elektronik untuk pertama kalinya.
"Situasi keamanan di sekitar Jepang semakin parah. Ini memberi kami kesempatan untuk mendemonstrasikan kekuatan aliansi Jepang-AS," kata Jenderal Koji Yamazaki, Komandan Militer Tertinggi Jepang, di atas kapal pengangkut helikopter Kaga di perairan Selatan Jepang, seperti dikutip Reuters.
Kaga, kapal perang terbesar milik Jepang, bersanding dengan kapal induk AS USS Ronald Reagan dan kapal perusak pengawalnya.
Baca juga: Setelah PM Jepang, Giliran Menlu AS Mike Pompeo ke Indonesia Pekan Depan
Kaga yang memiliki panjang 248 meter, yang baru kembali dari patroli di Laut Cina Selatan dan Samudra Hindia, akan dimodernisasi pada awal tahun depan untuk bisa membawa jet tempur siluman F-35.
Suga bulan ini mengunjungi Vietnam dan Indonesia sebagai bagian dari upaya Jepang untuk meningkatkan hubungan dengan sekutu utama Asia Tenggara.
Itu menyusul pertemuan di Tokyo dari "Quad", aliansi informal India, Australia, Jepang, dan AS yang Washington lihat sebagai benteng melawan pengaruh regional China yang berkembang. Beijing mengecamnya sebagai "mini-NATO" yang bertujuan untuk menahannya.
Jepang semakin khawatir atas peningkatan aktivitas Angkatan Laut China di sekitar pulau-pulau yang disengketakan di Laut China Timur yang diklaim Tokyo sebagai Senkaku dan disebut Diaoyu oleh Beijing.
Baca juga: China Klaim Usir Kapal Perusak AS dari Laut China Selatan
Mendampingi Jenderal Yamazaki di Kaga, Letnan Jenderal Kevin Schneider, Komandan Pasukan AS di Jepang, menunjuk aktivitas baru-baru ini oleh China yang membuat khawatir Washington dan Tokyo.
Kegiatan itu termasuk Undang-Undang Keamanan Baru di Hong Kong yang telah merusak otonomi wilayah tersebut, pembangunan fasilitas militer China di Laut China Selatan, dan gangguan terhadap Taiwan oleh militer Tiongkok selama beberapa bulan terakhir.
China mengatakan, niatnya di kawasan itu untuk tujuan damai.
Perang bisa pecah
Kehadiran militer Amerika Serikat (AS) di Laut China Selatan bukan gertak sambal.
Pasalnya, militer AS telah meningkatkan secara tajam misi pesawat mata-mata mereka di atas Laut China Selatan dalam beberapa bulan terakhir yang menargetkan militer China, kata para analis.
Seperti dilansir Express.co.uk, Minggu (25/10), pada bulan ini, sebuah lembaga berbasis di China, yakni South China Sea Strategic Situation Probing Initiative (SCSPI) mengklaim militer AS telah menerbangkan setidaknya 60 misi untuk memata-matai China pada bulan September 2020 saja.
Sementara pada Agustus, SCSPI mengatakan AS telah menggandakan penerbangan pengintaian seperti itu selama beberapa bulan sebelumnya.
Bahkan SCSPI mengatakan, 60 misi penerbangan pesawat mata-mata AS pada September itu kemungkinan merupakan perkiraan rendah.
Pasalnya, banyak pesawat mata-mata AS yang diamati menyamar atau bersembunyi dari radar pelacak.
Profesor studi strategis di Tamkang University di Taiwan, Alexander Huang, mengatakan, misi tersebut akan memungkinkan AS mengamati aktivitas kapal selam China dan juga membiasakan diri dengan laut, seperti dilaporkan Voice of Amerika.
Huang menambahkan bahwa AS kemungkinan besar akan tertarik dengan wilayah Selat Luzon.
Pesawat AS yang terlibat dalam kegiatan mata-mata termasuk model RC-135 dan E-8C Angkatan Udara AS.
SCSPI mengatakan penyebaran E-8C secara khusus "menarik perhatian".

Pesawat tersebut mampu memata-matai negara lain dari jarak sejauh 155 mil.
Sejauh ini, kegiatan itu memungkinkan militer AS untuk menentukan target berbasis darat dan sistem pemantauan radar.
Pada bulan September, organisasi penelitian tersebut mengklaim AS telah menyembunyikan misi mata-matanya dengan menyamarkan pesawat militernya sebagai pesawat sipil.
Pesawat AS telah mengubah kode identifikasi elektronik mereka - yang dikenal sebagai kode hex - untuk membuatnya tampak seolah-olah itu adalah pesawat Malaysia selama tiga hari berturut-turut.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengatakan menyamarkan pesawat sedemikian rupa adalah "tipuan lama militer AS".
Dia menambahkan langkah itu "sangat melanggar aturan penerbangan internasional" dalam konferensi pers di bulan yang sama.

Baru-baru ini, AS juga menyelesaikan kesepakatan senjata dengan Taiwan - negara kepulauan di kawasan Laut China Selatan yang memiliki hubungan tegang dengan China akibat perselisihan kedaulatan.
Paket senjata, yang dikatakan bernilai US$ 1,8 miliar, termasuk rudal dan peluncur roket.
Menteri Pertahanan Taiwan Yen De-fa menyambut baik langkah tersebut, menambahkan Taiwan akan terus "mengkonsolidasikan kemitraan keamanan kami" dengan AS.
Menteri itu menyangkal Taiwan akan terlibat dalam "perlombaan senjata dengan Komunis China".
Sebaliknya, dia mengklaim bangsa akan "mengedepankan persyaratan dan membangun sepenuhnya sesuai dengan konsep strategis pencegahan berat, mempertahankan posisi dan kebutuhan pertahanan kita."
China, sementara itu, mengecam langkah tersebut. Juru bicara kementerian luar negeri negara itu Zhao Lijian mengatakan penjualan senjata semacam itu "sangat mengganggu urusan dalam negeri China".
Dia menambahkan: "China akan membuat tanggapan yang sah dan perlu sesuai dengan bagaimana situasi berkembang".
Penasihat keamanan nasional AS Robert O'Brien bulan ini menyarankan Taiwan untuk "membentengi dirinya sendiri" melawan China.
Berita ini tayang di Kontan dengan judul: Unjuk kekuatan ke China, Jepang dan AS gelar latihan militer skala besar