Selasa, 7 Oktober 2025

Sukarelawan Jepang Punya Standar Perlengkapan Baju Seragam Antisipasi Segala Risiko

Menjadi tenaga sukarela alias volunteer memang tidaklah mudah. Apalagi sukarelawan di negara sekelas Jepang.

Editor: Dewi Agustina
Koresponden Tribunnews.com/Richard Susilo
Seorang Sukarelawan (volunteer) Jepang memperlihatkan standar baju seragam (bertopi putih). 

Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo di Jepang

TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - Menjadi tenaga sukarela alias volunteer memang tidaklah mudah. Apalagi sukarelawan di negara sekelas Jepang.

Jepang dikenal sebagai negara dengan standar yang sudah ada karena memikirkan segala kemungkinan yang nantinya bakal terjadi.

"Kita senang terima sukarelawan dari mana-mana, tetapi kita mau juga agar dia selamat sehat dan tak terjadi apa pun dalam upaya membantu para korban, jadi sebaiknya mengikuti standar yang ada di Jepang," ungkap sumber Tribunnews.com seorang pejabat pemerintah Jepang, Senin (16/7/2018).

Misalnya baju dan perlengkapan seragam untuk sukarelawan memang sudah jadi standar di Jepang.

Mulai dengan topi khusus untuk pekerjaan proyek, baju khusus yang dapat melindungi tubuh dengan baik.

Baca: Ketika Warga Ramai-ramai Berburu Ular Sanca Kembang di Kawasan Irigasi Dusun Unengan

Misalnya bergerak di reruntuhan rumah kayu, bukan tidak mungkin potongan kayu menusuk badan kalau tidak hati-hati dan ini berbahaya.

Demikian pula sepatu boot khusus, lalu sarung tangan tebal karena tangan sangat sensitif di sebuah tempat bencana.

"Dari tangan bisa mudah terkena virus atau penyakit dengan sentuhan reruntuhan apalagi kalau tangan sampai terluka. Jadi sebaiknya sarung tangan khusus yang agak tebal dan kuat memproteksi tangan dan sebagian lengan kita," ujarnya.

Baju dan celana disarankan yang panjang, setidaknya menghadapi serangga yang bisa langsung menggigit tubuh kalau pakai tangan pendek atau celana pendek.

Baca: Pelaku Penyerangan Mapolres Tak Berani Pulang ke Rumah Meski Peluru Masih Bersarang di Dadanya

"Itulah sebabnya para sukarelawan Jepang saat ini sangat berat tugasnya, bukan karena pakai baju seragam tersbeut, tetapi karena panas terik matahari kini sekitar 35 sampai 40 derajat Celcius. Bahkan sudah ada yang 45 derajat celcius. Ini sangat cepat membuat lelah para sukarelawan dan juga membuat cepat terserang dehidrasi. Jadi harus banyak minum air," kata dia.

"Oleh karena itu Jepang bukan tidak mau terima sukarelawan dari negara luar, tetapi banyak hal akan jadi hambatan, malahan bisa memperlambat proses rekonstruksi," ujarnya.

Perbedaan itu misalnya beda budaya, komunikasi bahasa, standar sukarelawan dan sebagainya.

"Bayangkan korban bencana alam yang sudah capai lelah dan stres harus bicara bahasa Inggris, tambah stres dia, sehingga bisa memperlambat proses rekonstruksi nantinya," ungkapnya memberikan contoh sederhana.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved