Minggu, 5 Oktober 2025

Virus Corona

Negara-negara Maju Disebut Belum Optimal Sumbangkan Vaksin Covid-19 hingga Picu Gelombang Kematian

Negara-negara maju disebut belum optimal menyumbangkan vaksin Covid-19, hingga memicu gelombang kematian di seluruh Afrika, Asia dan Amerika Latin.

Penulis: Rica Agustina
Editor: Tiara Shelavie
Shutterstock
Ilustrasi vaksinasi - Negara-negara maju disebut belum optimal menyumbangkan vaksin Covid-19, hingga memicu gelombang kematian di seluruh Afrika, Asia dan Amerika Latin. 

TRIBUNNEWS.COM - Sebuah panel independen yang memantau respons dunia terhadap pandemi virus corona (Covid-19), Panel Independen untuk Kesiapsiagaan dan Respons Pandemi (IPPPR), mengatakan negara-negara maju belum optimal dalam menyumbangkan vaksin ke negara-negara berkembang.

Pada bulan Mei, IPPPR menyerukan realokasi satu miliar dosis vaksin virus corona dari negara-negara berpenghasilan tinggi dengan cakupan yang memadai ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah pada bulan September.

Diharapkan satu miliar dosis lagi akan ditransfer pada pertengahan 2022.

Namun, menurut ketua IPPPR Helen Clark, dunia masih jauh dari memenuhi target tersebut.

"Dunia masih jauh dari memenuhi target itu," kata Clark kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sebuah pengarahan pada hari Rabu, sebagaimana dilansir Al Jazeera.

"Beberapa komitmen telah dibuat tetapi masih banyak yang harus dilakukan, dan itu dapat dilakukan dengan segera," sambung Clark.

Baca juga: Kemendagri: Urus Dokumen Dukcapil Tak Perlu Sertifikat Vaksinasi Covid-19

Pandemi telah memburuk sejak IPPPR merilis laporannya dan varian Delta yang meningkatkan lonjakan virus corona di seluruh Asia Pasifik dan bagian lain dunia, di mana hanya sebagian kecil penduduknya yang telah divaksinasi.

Bahkan, sistem kesehatan di beberapa negara berada di ambang kehancuran dengan tingkat kematian yang terus melinjak.

Clark dan Ellen Johnson Sirleaf, ketua bersama lainnya, mengatakan ada kebutuhan mendesak untuk merombak cara vaksin dan perawatan pasien Covid-19.

Pada Mei lalu, Clark dan Sirleaf telah mencatat bahwa sistem saat ini tidak sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

"Ketidaksetaraan vaksin adalah faktor kunci dalam gelombang kematian yang kita lihat di seluruh Afrika, Asia dan Amerika Latin," kata Clark.

Clark menekankan bahwa IPPPR mendukung pengabaian paten sementara di bawah Organisasi Perdagangan Dunia (WHO) atau perjanjian TRIPS WTO untuk memastikan lebih banyak vaksin dapat dibuat dengan cepat.

"Sungguh mencengangkan dan merugikan diri sendiri bahwa produsen farmasi terus tidak berbagi teknologi atau pengetahuan yang dapat membantu skala manufaktur dengan cepat."

"Kami percaya ada kebutuhan untuk beralih dari model berbasis pasar ke model berbasis barang publik global," kata Clark.

Lebih lanjut, IPPPR dalam laporannya pada Mei lalu mengatakan, tanggapan dunia terhadap pandemi bak 'koktail beracun'.

Baca juga: 10 TANYA JAWAB Terkait Varian Covid-19 Delta dan Delta Plus, Apa Saja Gejalanya?

Hal itu karena keragu-raguan dan koordinasi yang buruk, pengabaian terhadap tanda-tanda peringatan, dan politisi yang gagal belajar dari masa lalu.

Sementara menurut Sirleaf, yang memimpin Liberia selama krisis Ebola 2014 hingga 2016, mengatakan pada pertemuan itu bahwa majelis umum memiliki peran yang menentukan untuk dimainkan dalam mendukung reformasi kelembagaan yang diperlukan untuk memastikan dunia merespons krisis kesehatan global secara lebih efektif.

"Ini pasti pandemi terakhir yang menyebabkan kehancuran dalam skala yang kita saksikan hari ini," kata Sirleaf.

"Kita membutuhkan sistem internasional yang lebih kuat untuk kesiapsiagaan dan respons pandemi yang memahami ancaman, waspada, dan siap untuk mengambil tindakan kolekti," sambungnya.

Sirleaf menegaskan, menghentikan pandemi bukan hanya tugas satu negara saja, atau sekelompok negara saja.

"Pekerjaan itu tidak bisa dilakukan oleh satu negara saja yang bekerja sendiri. Itu bahkan tidak bisa dilakukan oleh sekelompok negara, tidak peduli seberapa mau, karena kita hanya sekuat mata rantai terlemah kita," kata Sirleaf.

IPPPR telah merekomendasikan peningkatan otoritas dan independensi WHO termasuk penyediaan pendanaan yang memadai, dapat diprediksi, fleksibel dan berkelanjutan.

Direktur jenderal dan direktur regionalnya juga harus menjabat selama tujuh tahun, kata panel tersebut.

Mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan dia memotong sumbangan ke WHO dan akan menarik AS dari organisasi, di tengah tuduhannya tentang asal muasal Covid-19 dari China.

Namun, sejak Presiden Joe Biden menjabat, AS telah kembali ke WHO dan menekankan perlunya tanggapan multilateral terhadap keamanan kesehatan global.

Baca juga: Update Corona Global 29 Juli 2021: Total Kasus Baru di Seluruh Dunia 638.701

Pada hari Rabu, dalam pertemuan dengan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Menteri Luar Negeri Antony Blinken memberikan dukungannya kepada rencana WHO untuk melakukan studi tambahan tentang asal muasal Covid-19, termasuk di China tempat virus pertama kali muncul di akhir 2019.

China menolak usulan itu minggu lalu.

"(Blinken) menekankan perlunya fase berikutnya tepat waktu, berbasis bukti, transparan, dipimpin ahli, dan bebas dari campur tangan," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price dalam sebuah pernyataan.

Baca artikel lain seputar Virus Corona

(Tribunnews.com/Rica Agustina)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved