Virus Corona
Tingkat Keampuhan Vaksin Buatan China dan Rusia Hanya 40 Persen?
Sejumlah ilmuwan menilai, vaksin Covid-19 yang dikembangkan di Rusia dan China memiliki sejumlah potensi kelemahan besar.
TRIBUNNEWS.COM - Vaksin COVID-19 yang dikembangkan di Rusia dan China disebut memiliki potensi kelemahan yang sama.
Sebab, vaksin tersebut didasarkan pada virus flu biasa yang telah terpapar sebelumnya oleh banyak orang.
Oleh karena itu, beberapa ahli mengatakan potensi keefektivitas dari vaksin tersebut terbatas.
Vaksin asal China bernama CanSino Biologics ini telah disetujui untuk penggunaan militer di China.
Para ahli menuturkan, vaksin tersebut merupakan bentuk modifikasi dari adenovirus tipe 5 atau Ad5.
Sedangkan perusahaan tersebut tengah dalam pembicaraan untuk mendapatkan persetujuan darurat di beberapa negara.

Baca: Kabarnya Rusia Telah Produksi Vaksin Virus Corona Gelombang Pertama
Padahal mereka belum menyelesaikan uji coba vaksin dalam skala besar, Wall Street Journal melaporkan.
Hal yang sama juga terjadi pada vaksin yang dikembangkan oleh Institut Gamaleya Moskow.
Vaksin tersebut disetujui di Rusia pada awal bulan ini meskipun pengujian dilakukan terbatas.
Vaksin itu juga didasarkan pada Ad5 dan adenovirus kedua yang kurang umum.
"Ad5 mengkhawatirkan saya hanya karena banyak orang memiliki kekebalan," kata Anna Durbin, peneliti vaksin di Universitas Johns Hopkins, dikutip dari CNA, Selasa (1/9/2020).

Baca: Begini Tanggapan WHO Soal Vaksin Virus Corona Milik Rusia
"Saya tidak yakin apa strategi mereka, mungkin (vaksin) tidak akan memiliki kemanjuran 70 persen."
"Mungkin memiliki kemanjuran 40 persen dan itu lebih baik daripada tidak sama sekali, sampai sesuatu yang lain muncul," tuturnya.
Vaksin dipandang penting untuk mengakhiri pandemi yang telah merenggut lebih dari 845.000 nyawa di seluruh dunia.
Gamaleya mengatakan, pendekatan dua virusnya akan mengatasi masalah kekebalan Ad5.
Kedua pengembang memiliki pengalaman bertahun-tahun dan menyetujui vaksin Ebola berdasarkan Ad5.
Namun hingga berita telah tersebar, baik CanSino maupun Gamaleya tidak menanggapi komentar.

Baca: Rusia Disebut Tengah Berencana Produksi Massal Vaksin Virus Corona Pertamanya
Para peneliti telah bereksperimen dengan vaksin berbasis Ad5 untuk melawan berbagai infeksi selama beberapa dekade, tetapi tidak ada yang digunakan secara luas.
Mereka menggunakan virus yang tidak berbahaya sebagai "vektor" untuk membawa gen dari virus target (dalam hal ini virus corona) ke dalam sel manusia.
Lalu mendorong respons kekebalan untuk melawan virus yang sebenarnya.
Tetapi banyak orang sudah memiliki antibodi terhadap Ad5, yang dapat menyebabkan sistem kekebalan menyerang vektor alih-alih merespons virus corona.
Hal itu lah yang disebut para ahli membuat vaksin menjadi kurang efektif.

Baca: Saat Vaksin Virus Corona Sudah Tersedia, Siapa yang Akan Mendapatkannya Pertama Kali?
Beberapa peneliti telah memilih adenovirus alternatif atau mekanisme pengiriman.
Universitas Oxford dan AstraZeneca mendasarkan vaksin COVID-19 mereka pada adenovirus simpanse, untuk menghindari masalah Ad5.
Kandidat Johnson & Johnson menggunakan Ad26, strain yang relatif langka.
Dr Zhou Xing, dari Universitas McMaster Kanada, bekerja dengan CanSino untuk vaksin pertama berbasis Ad5, untuk tuberkulosis, pada tahun 2011.
Timnya sedang mengembangkan vaksin COVID-19 Ad5 yang dihirup, berteori hal itu dapat menghindari masalah kekebalan yang sudah ada sebelumnya.
Baca: Update Proses Vaksin Virus Corona di Indonesia, Akhir Tahun 2020 Bisa Diedarkan?
"Kandidat vaksin Oxford memiliki keuntungan yang cukup besar" dibandingkan dengan vaksin CanSino yang disuntikkan," katanya.
Xing juga khawatir vektor Ad5 dosis tinggi dalam vaksin CanSino dapat menyebabkan demam, yang justru memicu skeptisisme vaksin.
"Saya pikir mereka akan mendapatkan kekebalan yang baik pada orang yang tidak memiliki antibodi terhadap vaksin, tetapi banyak orang memilikinya," kata Dr Hildegund Ertl, direktur Pusat Vaksin Wistar Institute di Philadelphia.
Di China dan Amerika Serikat, sekitar 40 persen orang memiliki tingkat antibodi yang tinggi dari paparan Ad5 sebelumnya, sedangkan di Afrika, bisa mencapai 80 persen, kata para ahli.
(Tribunnews.com/Maliana)