Virus Corona
Fenomena Masyarakat Tak Percaya Covid-19, Anis Matta: Orang Sampai Pada Tingkat Frustasi
Diperlukan kebijakan yang dapat menggabungkan antara protokol kesehatan dengan pergerakan masyarakat
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketaatan masyarakat Indonesia dalam mematuhi protokol kesehatan kembali dipertanyakan.
Ini tidak terlepas dari grafik laju penyebaran virus corona (covid-19) yang tak kunjung mereda.
Apalagi terjadi lonjakan pasien positif covid-19 setelah pemerintah mengumumkan penerapan new normal atau Adatapsi Kebiasaan Baru (AKB).
Melihat kasus tersebut ternyata ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat semakin kurang patuh akan protokol kesehatan sehingga membuat kasus positif baru terus melonjak.
Satu diantaranya adalah masih banyak masyarakat yang kurang percaya bahwa Covid-19 itu membahayakan jiwa.
Baca: Di Asia Tenggara Terdeteksi Mutasi Corona D614G yang 10 Kali Lebih Menular, Vaksin Tetap Efektif?
Bahkan tak sedikit masyarakat yang beranggapan jika virus corona tidak benar-benar ada.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Anis Matta menilai masyarakat telah sampai pada tingkat frustasi.
Hal itu disebabkan pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), di mana masyarakat diharuskan berkegiatan dari rumah.
"Orang sampai pada tingkat frustasi. Kita lockdown pada Maret. Orang frustasi. Ada efek spasial, efek luar. Kalau rumah Anda misalnya kecil, Anda berada terus di situ kebayang tidak," kata Anis dalam wawancara khusus dengan Tribunnews, di Redaksi Tribunnews, Palmerah, Jakarta, Kamis (20/8/2020).
Anis mengatakan meski terus berada di rumah, justru biaya hidup menjadi naik.
Misalnya dalam biaya listrik naik, atau penggunaan data internet naik.
Baca: Mengapa Hasil Rapid Tes Nonreaktif, Tes Swab Positif Corona? Ini Penjelasan Jubir Satgas Covid-19
"Makanya saya bilang, orang sampai tingkat frustasi karena orang tidak dikasih peta jalan," ucapnya.
Menurut Anis, diperlukan kebijakan yang dapat menggabungkan antara protokol kesehatan dengan pergerakan masyarakat.
Jangan memberikan pilihan seperti buah simalakama (serba salah), karena ujungnya sama-sama mati.
Supaya pemerintah tidak salah, ia menilai diperlukan klaster scientist.
"Harus ada cara untuk menemukannya, jangan mempertentangkan antara pergerakan publik dengan protokol kesehatan, kita mesti mencari jalan tengah. Itu tugas klaster tadi. Karena kalau harus memilih tidak ada jalan yang bagus," pungkasnya.