Virus Corona
Tak Lagi Jadi Jubir Pemerintah, Achmad Yurianto Tetap Akrabi Data Covid-19, Begini Tugasnya Sekarang
Tak lagi tampil di layar kaca setiap sebagai jubir Pemerintah penanhgana pandemi covid-19, Achmad Yurianto masih akrabi data covid-
Laporan Wartawan Tribunnews, Larasati Dyah Utami
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tak lagi tampil di layar kaca setiap hari sebagai Juru Bicara (Jubir) Pemerintah terkait penanganan pandemi virus corona (Covid-19), Achmad Yurianto ternyata masih mengkrabi data covid-19.
Achmad Yurianto mengatakan tugasnya tidak ada yang berubah.
Dirinya tetap ditugasi menjadi juru ketik dan pengumpul data kasus Covid-19 dari seluruh Indonesia.
Ia lantas menyerahkan data ke website resmi covid-19 dan jubir yang baru, Prof Wiku Adisasmito.
“Semua data diberikan ke saya, saya olah, lalu saya kaji, saya ketik dan kemudian saya kirim ke Covid-19.go.id lalu saya kirim ke profesor Wiku,” ujar Yuri saat melakukan wawancara eksklusif di instagram bersama presenter Ira Koesno, Minggu (26/7/2020).
Baca: Selama Pandemi Virus Corona, Adhisty Zara Persiapan Syuting, Latihan dan Les Vokal Secara Online
Baca: Protokol Kesehatan Pada Anak Saat Pandemi, Jaga Jarak 2 Meter, Pakai Masker Plus Face Shield

Yuri mengatakan fungsi untuk penanganan covid-19 masih tetap ada pada Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
“Jadi ini hanya masalah (pergantian) pembicara saja, kalau menganalisa data tetap saya yang melakukan,” katanya.
Yuri mengatakan skenario untuk penanganan covid-19 saat ini sudah masuk ke tahap pemulihan darurat.
Baca: Pajang Foto Bersama Achmad Yurianto, Dokter Reisa Bilang Bakal Kangen

Tugas Baru, Kendalikan TBC dan Soal Julukan Pemberi Kabar Kematian
Bahkan dirinya sudah dirinya sudah diberikan tugas baru oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), yaitu untuk mengendalikan penyakit tuberculosis (TBC).
“Karena ini lebih rumit daripada covid, sehingga sekarang saya harus fokus ke TBC dan saya harus bangun strateginya dari awal, karena ini juga terdampak karena covid,” ujar Yuri.
Saat menjabat sebagai Jubir Pemerintah terkait covid-19, Yuri dijuluki masyarakat sebagai pemberi kabar kematian karena tugasnya untuk menyampaikan update penambahan jumlah kasus covid-19 dari seluruh Indonesia.
Dirjen P2P itu menjelaskan bahwa pembacaan penambahan jumlah kasus setiap harinya untuk menunjukkan bahwa pemerintah terbuka dengan penanganan covid-19.
Baca: Jokowi Siap Keluarkan Perpres Untuk Tangani TBC di Indonesia
Baca: Tugas Achmad Yurianto Kini Usai Diganti Wiku Adisasmito Sebagai Jubir Satgas Covid-19
“Ini muncul di awal, ada yang bilang dibacakan saja, tapi ada yang mengatakan tidak semua orang melihat, ada yang mendengar. Jadi saya menyadari betul bahwa audiennya banyak dan memiliki beragam kepentingan,” katanya.
Selain itu dibacakannya penambahan kasus terkonfirmasi agar dapat menjadi acuan masyarakat untuk waspada, mana zona yang sangat beresiko penyebarannya dan mana yang masih rendah resikonya.
“Oleh karena itu setelah saya rilis, kemudian saya share melalui website covid19.go.id yang muncul secara rinci. Saya juga terkadang minta pendapat, apakah ini perlu dibacakan. Ada yang mengatakan perlu supaya provinsi lain bisa lihat provinsi lain karena ada kepentingan. Bagaimana kampung saya di Surabaya ternyata tinggi sekali makanya harus hati-hati. Ini sebuah kompromi,” katanya

Tak Punya Kepentingan Memanipulasi Data
Ahmad Yurianto menegaskan bahwa dirinya tidak memiliki kepentingan sedikitpun untuk memanipulasi data.
Yuri menjelaskan ada perbedaan data disampaikannya itu dikarenakan ada batas waktu pengumpulan yang berbeda disetiap daerah.
“Saya cut off time jam 12 WIB, provinsi lain ada yang cut uff timenya jam 4 sore, menunggu saya selesai pengumuman. Jadi yang saya umumkan data sampai jam 12, oleh provinsi yang diumumkan data sampai jam 4 sore. Ya pasti berbeda,” katanya.
Perbedaan ukuran data juga menjadi sebab adanya perbedaan data. Ia berujar selama ini pihaknya memakai data yang menjadi standar badan kesehatan dunia (WHO).
“Juga terkait ukuran data, data yang saya umumkan data yang menjadi standarnya WHO. Karena ini pandemi global harus ada data epidemiologis yang bisa dikaji secara global,”
“Salah satu contohnya WHO menyatakan data kasus yang meninggal yang diambil adalah data kasus yang terkonfirmasi positif. Sehingga kalau dipakai data kasus yang terduga juga, pasti jumlahnya lebih banyak,” katanya