Virus Corona
Perbedaan Aturan Permenkes dan Permenhub Bikin Bingung Petugas di Lapangan
Kementerian Kesehatan, mempunyai atribut kewenangan yang sifatnya regulatif, untuk mengatur hal-hal yang berkaita
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, menilai Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Pencegahan Penyebaran Pandemik Virus Corona overlapping, tidak mempunyai landasan dan pijakan konstitusional.
Menurut dia, Permenhub itu adalah produk perundang-undangan yang dibuat tak berdasar mandat hukum kedaruratan kesehatan, karena tak diperintahkan perundang-undangan diatasnya, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan maupun Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar terkait percepatan penaganan covid-19.
Baca: 6 Fakta Ratu Tisha Mundur dari Sekjen PSSI, Pernyataan Lengkap hingga Isu Pengganti
Baca: Kapal Kargo Pengangkut Tiang Pancang dari China Belum Dapat Izin Bersandar di Pelabuhan Calang Aceh
Baca: Artis Senior Tio Pakusadewo Kembali Terjerat Kasus Narkoba
"Menteri Perhubungan Ad Interim jangan membuat norma serta pranata baru yang sifatnya “contra legem” sehingga berimplikasi mendasar pada visi penyelesaian penaganan covid-19 pada tingkat yang lebih teknis. Ada kebingungan di tingkat lapangan,” kata dia, saat dihubungi, Selasa (14/4/2020).
Dia menjelaskan, Kementerian Kesehatan merupakan ‘leading sector’ pada penanganan Covid-19.
Menurut dia, Kementerian Kesehatan, mempunyai atribut kewenangan yang sifatnya regulatif, untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan percepatan penanganan covid-19 ini.
Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), berdasarkan pada UU Kekerantinan Kesehatan, serta PP No. 21 Tahun 2020. Melalui kewenangan itu, kata dia, Menkes mengeluarkan Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman PSBB dalam rangka percepatan penaganan Covid-19.
Selain itu, melalui PP No. 21 Tahun 2020, menurut dia, Menteri Kesehatan diberikan kewenangan mengatur pelaksanaan PSBB, sekaligus memberikan pedoman pelaksanaan, termasuk pengaturan soal pembatasan kegiatan ditempat atau fasilitas umum, maupun pembatasan moda transportasi.
“Sepanjang spirit pengaturan terkait PSBB maka mutlak adanya setiap kebijakan hukum yang akan dilakukan oleh badan atau kementerian sektoral lainya wajib berpedoman pada ketentuan yang dibuat oleh Menteri Kesehatan. Sehingga setiap peraturan yang dibuat harus sejalan dengan paradigma keadaan kedaruratan kesehatan, bukan yang lain," ujarnya.
Jika melihat Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 ini, dia melanjutkan, Menhub ad interim Luhut Binsar Panjaitan membajak kewenangan menteri kesehatan dalam rangka pengaturan PSBB.
Selain itu. Permenhub itu cenderung tidak responsif dan tidak mengakomodir spirit keadaan darurat terkait penyebaran Covid-19 yang sangat eskalatif dan massif menyebar ke 34 Provinsi di Indonesia.
Dia menambahkan, jika memang Menteri perhubungan ingin membuat produk regulasi yang demikian, idealnya mengakomodir serta wajib untuk sejalan dengan peraturan perundang-undangan horizontal - sektoral yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan sebagai “leading sector” dalam penanganan covid-19 dan penerapan PSBB ini.
“Ini tidak boleh terjadi dalam situasi darurat pendemi seperti ini. Presiden sebagai kepala negara harus turun tangan untuk atasi kisruh kebijakan seperti ini dan kebijakan negara harus prudent," tambahnya.