Virus Corona
Menolak Penguburan Jenazah Korban Covid-19 Berdosa Dua Kali? Ini Penjelasan MUI
Terjadinya penolakan penguburan korban meninggal akibat terpapa virus corona baru (Covid-19) mendapat perhatian serius dari Majelis Ulama Indonesia
TRIBUNNEWS.COM - Terjadinya penolakan penguburan korban meninggal akibat terpapar virus corona baru (Covid-19) mendapat perhatian serius dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorun Niam Sholeh menjelaskan hukum menolak atau menghalang-halangi proses penguburan adalah hal yang salah dalam agama.
Hal tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya hak-hak jenazah yang semestinya harus ditunaikan oleh umat muslim lainnya secara perwakilan (fardhu kifayah).
"Kemudian kita berdosa tidak menunaikan kewajiban atas hak jenazah, dengan melakukan penolakan pemakanan."
"Berarti ini dosa dua kali, dosa yang pertama tidak menunaikan kewajiban atas jenazah."
"Kemudian yang kedua menghalang-halangi penuaian kewajiban terhadap jenazah" ujar Asrorun dikutip dari channel YouTube BNPB, Sabtu (4/4/2020).
Asrorun menilai, penolakan yang terjadi akibat ketakutan yang berlebihan dari masyarakat.
Ia mengatakan memang kewaspadaan terhadap penyebaran Covid-19 harus ada, namun disisi lain hal tersebut perlu diiringi dengan pemahaman yang baik dan benar.
"Harus dibingkai dengan ilmu pengetahuan dan pemahaman yang utuh."
"Jangan sampai akibat kekhawatiran kita minus pengetahuan yang memadahi kemudian kita berdosa karena tidak menunaikan atas hak jenazah," kata Asrorun kembali menegaskan.
Dalam kesempatan tersebut, Asrorun menjelaskan MUI telah mengeluarkan fatwa terkait pedoman pengurusan jenazah korban Covid-19.
Baca: Satu Juta Kasus Positif Covid-19 Tekan Pasar Saham Amerika

Hal ini tertuang dalam nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al-Hana'iz) Muslim yang terinfeksi Covid-19.
Asrorun menegaskan, dengan keluarnya fatwa ini menegaskan komitmen umat beragama sebagai bentuk ikhtiar dalam menjalankan ibadah sekaligus turut berupaya menanggulangi penyebaran virus yang menyerang sistem pernapasan ini.
"Ada 3 aspek yang perlu diperhatikan, pertama aspek ketundukan kita bahwa ini musibah, dan bagaimana kita tetap dalam koridor tunduk serta patuh dengan aturan-aturan Allah."
"Kedua menjaga keselamatan diri bahwa itu bagian dari tugas keagamaan kita, tugas kemanusiaan, tugas penghambaan kita."
"Dan ketiga memastikan orang lain, dan juga proses-proses perawatan pengurusan jenazah harus sesuai dengan ketentuan agama dan protokol kesehatan," ucap Asrorun.
Dalam konferensi persnya, Asrorun juga membeberkan subtansi dari fatawa nomor 18 Tahun 2020 tersebut.
Ia menekankan fatwa ini digunakan sebagai panduan oleh petugas kesehatan saat mengurus jenazah korban Covid-19.
Sehingga ada dua hal dasar dapat dipenuhi dalam waktu yang bersamaan.
"Memastikan dua hal sekaligus, memastikan kepatuhan agama dan memastikan keselamatan jiwa."
"Dan perlu dipahami, bahwa setiap muslim yang menjadi korban Covid-19 secara syari adalah syahid fil akhiroh yang memiliki kemuliaan dan kehormatan di mata Allah," kata Asrorun.
Asrorun melanjutkan, pada dasarnya jenazah korban Covid-19 tidak berbeda dengan jenazah umat Islam yang memilili sejumlah hak yang harus dipenuhi oleh umat Islam lainnya secara perwakilan.
Namun dengan catatan penting, jenazah korban Covid-19 diwajibkan mendapat sejumlah perlakukan khusus.
"Dalam kontes hak-hak duniawiyah yang harus dipenuhi, mulai dari pemandian, pengafanan, kemudian disalatkan, hingga penguburan."
"Protokol kesehartan perlu dijaga, tetapi di saat yang sama ketentuan agama harus ditaati," tegasnya.
Baca: Tekan Penyebaran Covid-19, Sido Muncul Salurkan Bantuan Rp 15 Miliar

Berikut fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz Al-Hana'iz) Muslim yang terinfeksi Covid-19:
Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :
1. Petugas adalah petugas muslim yang melaksanakan pengurusan jenazah.
2. Syahid Akhirat adalah muslim yang meninggal dunia karena kondisi tertentu (antara lain karena wabah (tha’un), tenggelam, terbakar, dan melahirkan), yang secara syar’i dihukumi dan mendapat pahala syahid (dosanya diampuni dan dimasukkan ke surga tanpa hisab), tetapi secara duniawi hak-hak jenazah-nya tetap wajib dipenuhi.
3. APD (Alat Pelindung Diri) adalah alat pelindung diri yang digunakan oleh petugas yang melaksanakan pengurusan jenazah.
Ketentuan Khusus
1. Menegaskan kembali Ketentuan Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 angka 7 yang menetapkan:
“Pengurusan jenazah (tajhiz al-jana’iz) yang terpapar Covid-19, terutama dalam memandikan dan mengafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar Covid-19.”
2. Umat Islam yang wafat karena wabah Covid-19 dalam pandangan syara’ termasuk kategori syahid akhirat dan hak-hak jenazahnya wajib dipenuhi, yaitu dimandikan, dikafani, dishalati, dan dikuburkan, yang pelaksanaannya wajib menjaga keselamatan petugas dengan mematuhi ketentuan-ketentuan protokol medis.
Pedoman memandikan jenazah yang terpapar Covid-19 dilakukan sebagai berikut:
a. Jenazah dimandikan tanpa harus dibuka pakaiannya
b. petugas wajib berjenis kelamin yang sama dengan jenazah yang dimandikan dan dikafani;
c. Jika petugas yang memandikan tidak ada yang berjenis kelamin sama, maka dimandikan oleh petugas yang ada, dengan syarat jenazah dimandikan tetap memakai pakaian. Jika tidak, maka ditayammumkan.
d. petugas membersihkan najis (jika ada) sebelum memandikan;
e. petugas memandikan jenazah dengan cara mengucurkan air secara merata ke seluruh tubuh;
f. jika atas pertimbangan ahli yang terpercaya bahwa jenazah tidak mungkin dimandikan, maka dapat diganti dengan tayamum sesuai ketentuan syariah, yaitu dengan cara:
1). mengusap wajah dan kedua tangan jenazah (minimal sampai pergelangan) dengan debu.
2). untuk kepentingan perlindungan diri pada saat mengusap, petugas tetap menggunakan APD.
g. jika menurut pendapat ahli yang terpercaya bahwa memandikan atau menayamumkan tidak mungkin dilakukan karena membahayakan petugas, maka berdasarkan ketentuan dlarurat syar’iyyah, jenazah tidak dimandikan atau ditayamumkan.
Baca: Hukum Menjalankan Salat Id di Rumah Menurut PBNU
1. Pedoman mengafani jenazah yang terpapar Covid-19 dilakukan sebagai berikut:
a. Setelah jenazah dimandikan atau ditayamumkan, atau karena dlarurah syar’iyah tidak dimandikan atau ditayamumkan, maka jenazah dikafani dengan menggunakan kain yang menutup seluruh tubuh dan dimasukkan ke dalam kantong jenazah yang aman dan tidak tembus air untuk mencegah penyebaran virus dan menjaga keselamatan petugas.
b. Setelah pengafanan selesai, jenazah dimasukkan ke dalam peti jenazah yang tidak tembus air dan udara dengan dimiringkan ke kanan sehingga saat dikuburkan jenazah menghadap ke arah kiblat.
c. Jika setelah dikafani masih ditemukan najis pada jenazah, maka petugas dapat mengabaikan najis tersebut.
2.Pedoman menyalatkan jenazah yang terpapar Covid-19 dilakukan sebagai berikut:
a. Disunnahkan menyegerakan shalat jenazah setelah dikafani.
b. Dilakukan di tempat yang aman dari penularan Covid-19.
c. Dilakukan oleh umat Islam secara langsung (hadhir) minimal satu orang. Jika tidak memungkinkan, boleh dishalatkan di kuburan sebelum atau sesudah dimakamkan. Jika tidak dimungkinkan, maka boleh dishalatkan dari jauh (shalat ghaib).
d. Pihak yang menyalatkan wajib menjaga diri dari penularan Covid-19.
3. Pedoman menguburkan jenazah yang terpapar Covid-19 dilakukan sebagai berikut:
a. Dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah dan protokol medis.
b. Dilakukan dengan cara memasukkan jenazah bersama petinya ke dalam liang kubur tanpa harus membuka peti, plastik, dan kafan.
c. Penguburan beberapa jenazah dalam satu liang kubur dibolehkan karena darurat (al-dlarurah al-syar’iyyah) sebagaimana diatur dalam ketentuan fatwa MUI nomor 34 tahun 2004 tentang Pengurusan Jenazah (Tajhiz al-Jana’iz) Dalam Keadaan Darurat.
Lihat fatwa lebih lanjut di sini