Virus Corona
YLKI Sarankan Pemerintah Melakukan Karantina Wilayah untuk Menekan Penyebaran Covid-19
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menyarankan pemerintah segera melakukan karantina wilayah untuk menekan penyebaran Covid-19.
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Hari Darmawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), menyarankan pemerintah segera melakukan karantina wilayah untuk menekan penyebaran Covid-19.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, mengatakan persebaran Covid-19 sudah melingkupi skala nasional.
Tercatat, data pasien positif Covid-19 mencapai 1.045 orang, korban meninggal 87 orang, dan sembuh 46 orang.
"Oleh karena itu sebaiknya pemerintah pusat membebaskan setiap pimpinan daerah untuk melakukan karantina wilayah, lockdown atau karantina agar dapat menekan penyebaran Covid-19 ke daerah lain," ucap Tulus Abadi dalam keterangannya, Minggu (29/3/2020).
Ia menambahkan, ditambah lagi kini makin banyak warga kota, khususnya Jabodetabek, yang migrasi alias pulang kampung, dengan alasan di kota sudah tidak ada pekerjaan, tidak ada income.
"Banyaknya migrasi ke kampung halaman berpotensi besar untuk menyebarluaskan virus di daerahnya, dan fenomena ini direspon pemerintah daerah, dengan memberlakukan status Orang Dalam Pemantauan (ODP) bagi pemudik, dan diisolasi 14 hari," ujar Tulus.
Menurut Tulus, beberapa kota, seperti Kota Tegal, bahkan Papua, sudah melakukan lockdown untuk daerahnya.
Ini merupakan langkah antisipatif yang sangat bagus untuk memutus mata rantai persebaran, agar tak mengokupasi daerahnya.
Baca: Ramalan Zodiak Cinta Minggu Ini 30 Maret - 5 April 2020: Pisces Peka, Taurus Segera Nyatakan Cinta!
Baca: Virus Corona Merajalela Lumpuhkan Sendi-sendi Kehidupan, Jusuf Kalla Menagih Janji Tuhan Lewat Ini
Tulus juga menjelaskan, jika tidak dilakukan karantina wilayah atau lockdown, maka yang sangat dikhawatirkan adalah persebaran Covid-19 akan makin meluas, bukan hanya di Jakarta tapi seluruh Indonesia.
Mengingat Jakarta dan Bodetabek adalah epicentrum nasional. Tak cukup hanya imbauan tapi perlu kebijakan yang tegas, dan bahkan perlu sanksi bagi yang melanggarnya.
"Kedua sistem kesehatan nasional akan semakin kedodoran, karena tak mampu menampung lonjakan pasien. Apalagi sudah banyak tenaga medis bertumbangan karena terinfeksi Covid-19, tujuh orang dokter pun wafat karenanya," ujar dia.
Yang Ketiga, sudah banyak kasus pasien Covid-19 meninggal dunia di tengah jalan, bahkan saat di ambulance ditolak rumah sakit dikarenakan rumah sakit rujukan tak mampu lagi menampung tingginya pasien Covid-19.
Bahkan efeknya banyak pasien dan calon pasien non-Covid-19 yang terbengkalai dan akhirnya meninggal dunia, karena tenaga medis di rumah sakit energinya terkuras untuk menghandle pasien Covid-19.
Baca: Persiba Balikpapan Dukung Langkah PSSI, Putuskan Pulangkan Pemain hingga Singgung Masalah Gaji
Baca: Jalanan dan Rumah Warga di Wilayah Jakarta Barat Disemprot Disinfektan
Keberadaan tenaga medis juga makin tersudutkan manakala ketersediaan APD (Alat Pelindung Diri) makin terbatas.
Tenaga medis tak mungkin merawat pasien Covid-19 tanpa dilindungi dengan APD yang standar.
Jika tenaga medis tertular karena minimnya APD, maka risikonya bisa menularkan ke pasien lain, menularkan ke keluarganya, dan tidak bisa menolong pasien.
"Lockdown memang pilihan sulit dan bahkan pahit, tetapi jika tak dilakukan lockdown, dampak ekonominya pun akan lebih pahit," ujar Tulus.
"Upaya pengendalian terhadap penyebaran Covid-19 yang dilakukan pemerintah sejatinya sudah benar, seperti bekerja di rumah, tetap tinggal di rumah, jaga jarak dan jaga kesehatan," lanjut Tulus.
Tetapi menurut Tulus, kepatuhan masyarakat terhadap imbauan faktanya sangatlah lemah. Masyarakat masih banuak yang melakukan aktivitas di luar rumah.