Kamis, 2 Oktober 2025

Korupsi

Ketua KPK Tegaskan Ada Ancaman Hukuman Mati Bagi yang Korupsi di Tengah Wabah Corona

Ketua KPK sebut ditengah wabah Covid-19 ini jika ada yang melakukan korupsi akan mendapatkan ancaman pidana hukuman mati.

Penulis: Faisal Mohay
Editor: bunga pradipta p
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Ketua KPK Firli Bahuri menjawab pertanyaan saat wawancara khusus dengan Tribunnews.com di gedung KPK, Jakarta, Selasa (21/1/2020). 

TRIBUNNEWS.COM - Jumlah pasien virus corona atau Covid-19 di Indonesia terus meningkat.

Pemerintah sedang berusaha menyiapkan satu juta alat pemeriksaan masal atau rapid test Cvid-19.

Selain itu, pemerintah juga telah membeli obat Covid-19 dan akan segera didistribusikan kepada pasien positif corona.

Hal ini dilakukan dalam upaya menekan angka pasien Covid-19 dan berusaha mencegah penyebarannya.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri berharap tidak ada yang memanfaatkan kondisi seperti ini untuk melakukan korupsi.

Ia menegaskan jika melakukan korupsi saat terjadi bencana ancamannya adalah hukuman mati.

"Masa sih, ada oknum yang masih melakukan korupsi karena tidak memiliki empati kepada NKRI. Ingat korupsi pada saat bencana ancaman hukumannya pidana mati," ujarnya dikutip dari Kompas.com.

Ketua KPK Firli Bahuri saat dijumpai awak media usai acara Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (3/3/2020)
Ketua KPK Firli Bahuri saat dijumpai awak media usai acara Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (3/3/2020) (Ilham Rian Pratama/Tribunnews.com)

Firli berharap wabah Covid-19 ini dapat cepat teratasi.

Baca: Kemendes: Dana Desa Bisa Digunakan untuk Pencegahan & Penanganan Corona

Ia akan terus berusaha membangun budaya anti korupsi di Indonesia.

"Semoga semuanya bisa cepat tertangani. Walaupun suasana penuh keprihatinan, tapi kami tetap semangat dalam upaya pemberantasan korupsi, membangun dan menggelorakan semangat budaya anti korupsi," ungkapnya.

Sebelumnya, Juru bicara pemerintah penanganan Covid-19, Achmad Yurianto mengungkapkan pemerintah telah menyiapkan satu juta alat pemeriksaan masal atau rapid test covid-19.

Hal itu diungkapkan Yuri dalam konferensi pers perkembangan kasus covid-19 pada Jumat (20/3/2020).

"Dalam kaitan mengurangi kasus positif di masyarakat, pemerintah menyiapkan pemeriksaan secara masal atau rapid test," ungkap Yuri.

Perhitungan yang dilakukan pemerintah, ada 600 ribu hingga 700 ribu warga yang diperkirakan perlu untuk melakukan rapid test.

Sekretaris Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes yang juga juru bicara pemerintah dalam penanganan virus Corona, Achmad Yurianto, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (6/3/2020).(Kompas TV/Imron-Chandra)
Sekretaris Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes yang juga juru bicara pemerintah dalam penanganan virus Corona, Achmad Yurianto, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (6/3/2020).(Kompas TV/Imron-Chandra) 

"Data perhitungan kami adalah di angka 600 ribu-700 ribu, maka pemerintah akan siapkan satu juta kit pemeriksaan secara masal," ujarnya.

Yuri menyebut saat ini sudah ada dua ribu kit yang sudah diterima.

Baca: Instruksi Terbaru Jokowi Tangani Wabah Corona, Minta Lakukan Rapid Test Massal & Larangan Liburan

"Hari ini sudah menerima 2.000 kit, sudah kita accept 2.000 diharapkan besok," ujarnya.

Yuri mengungkapkan, tidak semua orang akan menjalani rapid test.

"Akan dilakukan dengan analisa risiko, tidak semua orang diperiksa," ujarnya.

Yuri mengungkapkan pasien positif akan ditracing terlebih dahulu untuk menentukan siapa saja yang akan dilakukan rapid test.

"Misalkan orang dikonfirmasi positif corona, akan kami trace selama 14 hari dimana ia berada."

"Jika ia di rumah, maka keluarga akan dites. Jika kerja, rekan di tempat pekerjaan akan diperiksa," jelasnya.

Jauh sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD menyatakan tidak perlu ada undang-undang baru karena perangkat hukum untuk hukuman mati bagi koruptor sudah ada.

Menko Polhukam Mahfud MD di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Jumat (21/2/2019).
Menko Polhukam Mahfud MD di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Jumat (21/2/2019). (KOMPAS.com/Dian Erika)

"Koruptor bisa dijatuhi hukuman mati kalau melakukan pengulangan atau melakukan korupsi disaat ada bencana nah itu sudah ada."

"Cuma kriteria bencana itu yang sekarang belum diluruskan."

"Nanti kalau itu mau diterapkan tidak perlu ada undang-undang baru, karena perangkat hukum yang tersedia sudah ada," ungkap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

Menkopolhukam menegaskan jika pemerintah sudah setuju dengan hukuman mati untuk koruptor tapi tetap semua tergantung putusan dari hakim pengadilan.

"Kadangkala hakimnya malah mutus bebas gitu, kadangkala hukumannya ringan."

"Sudah ringan nanti dipotong lagi, dipotong lagi,  ya sudah itu pengadilan diluar urusan pemerintah," kata pria kelahiran Madura ini.

Menurutnya adanya koruptor akan merusak sebuah bangsa.

"Saya sejak dulu sudah setuju hukuman mati untuk koruptor karena itu merusak nadi, aliran darah sebuah bangsa dirusak oleh koruptor itu."

"Sehingga kalau koruptornya serius dengan jumlah besar saya setuju hukuman mati," ujarnya dilansir melalui YouTube Kompas TV, Selasa (10/12/2019).

Ia mengatakan jika ancaman hukuman mati untuk koruptor sudah ada di undang-undang.

Dalam undang-undang dijelaskan jika koruptor dapat dihukum mati jika melakukan pengulangan korupsi dan melakukan korupsi saat ada bencana. 

(Tribunnews.com/Faisal Mohay/Gilang Wahyu) (Kompas.com/Ardito Ramadhan)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved