Selasa, 7 Oktober 2025

Soal e-Money, Pengamat Minta BI Ambil Jalan Tengah

Uang elektronik ini mampu mendukung pemerintah dalam mewujudkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).

shutterstock.com
Ilustrasi. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Makin maraknya produk uang elektronik yang beredar saat ini tentu tidak bisa terelakan.

Di Indonesia sendiri, uang elektronik pertama kali muncul pada 2007, perkembangannya pun semakin pesar dua tahun terakhir seiring dengan perkembangan teknologi.

Uang elektronik ini mampu mendukung pemerintah dalam mewujudkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).

Baca: Rapat Pimpinan TNI AU Bahas Pengamanan Pilkada Serentak

Namun demikian, sebagian besar penggunaan uang elektronik saat ini masih didominasi oleh uang berbasis kartu. Padahal uang elektronik berbasis kartu masih dihadapkan pada tantangan pendistribusian logistik serta fasilitas akseptansi yang tidak murah.

Untuk itu, berbagai inovasi baru dilakukan oleh para perusahaan keuangan berbasis teknologi (financial technology/fintech) untuk menciptakan mobile payment untuk mempermudah pengguna melakukan pembayaran non-tunai.

Beberapa contohnya adalah TokoCash milik Tokopedia, BukaDompet milik BukaLapak serta Shopee dengan Shopeepay. Potensi mobile payment sebenarnya sangat besar mengingat lebih dari 102 juta orang Indonesia merupakan pengguna ponsel pintar.

Sayangnya, kehadiran mobile payment ini tidak lama bisa dinikmati masyarakat karena pada September 2017 tahun lalu Bank Indonesia (BI) selaku regulator di bidang keuangan membekukan produk-produk tersebut karena belum mendapatkan izin.

Pengamat Ekonomi dari Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih mengatakan pengeluaran izin untuk setiap produk keuangan yang beroperasi memang sudah menjadi wewenang BI.

Keberadaan uang elektronik yang telah masif digunakan oleh masyarakat untuk bertransaksi memang membutuhkan pantauan BI.

Tujuannya, agar BI tetap bisa memantau pergerakan transaksi digital yang nantinya akan menjadi pertimbangan BI untuk mengeluarkan uang fisik.

“Memang monitoring ini dibutuhkan, tujuannya agar BI bisa mengetahui berapa jumlah transaksi elektronik yang ada dipasaran yang akan menjadi pertimbangan BI dalam mengeluarkan uang fisik,” tutur Lana saat dihubungi wartawan.

Namun demikian, Lana menyadari bahwa keberadaan uang elektronik berbasis mobile sudah sangat memudahkan masyarakat dan yang paling penting mendukung program GNNT.

Dia mencontohkan uang elektronik milik GO-JEK, yakni GO-PAY yang saat ini sudah digunakan oleh banyak masyarakat untuk melakukan transaksi dalam aplikasi layanan on-demand tersebut.

"GO-PAY sebetulnya merupakan langkah positif, karena memudahkan pengguna untuk membayar untuk transportasi, makanan, logistik dan lainnya. Saya kira dengan adanya pembayaran digital seperti GO-PAY ini sangat membantu orang tidak perlu lagi repot menukar uang kecil,” katanya.

Namun sekali lagi, Lana juga melihat kekhawatiran BI hal yang wajar karena uang pihak ketiga yang biasanya disimpan di bank suatu saat akan beralih ke uang elektronik milik perusahaan fintech.

Meskipun saat ini jumlahnya masih sedikit, tetapi dia mengaku tidak bisa memprediksi jumlah yang akan beralih dalam beberapa tahun mendatang, sehingga diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif untuk menjembatani peralihan ini.

“Jadi yang harus dilakukan BI adalah mencari jalan tengah, agar pembayaran digital ini berjalan tetapi masih dalam pengawasan. Selain itu, juga perlu diperhatikan bank-bank konvensional. Sebenarnya kalau uang yang ada di uang elektronik itu disimpan di bank juga BI bisa tetap mengawasi adanya transaksi digital,” pungkasnya.

Sebelumnya Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara meminta BI untuk lebih cepat mengurus perizinan uang elektronik milik e-commerce yang sempat bermasalah.

Rudiantara mengungkapkan percepatan tersebut dibutuhkan untuk menyongsong target valuasi e-commerce pada 2020 nanti. "Kalau kita mau mengejar US$130 miliar pada 2020, semua harus bergerak cepat. Tidak boleh dilambat-lambatin," katanya.

Rekomendasi untuk Anda

BizzInsight

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved