'Jangan Takut': Konsolidasi Masyarakat Sipil Setelah Teror pada Tempo
Teror kepala babi dan tikus dengan kepala terpotong yang ditujukan kepada Tempo menjadi alarm peringatan untuk masyarakat sipil sekali…

Maria Catarina Sumarsih terhenyak ketika ia mendapat kabar jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana yang akrab dipanggil Cica, mendapat kiriman potongan kepala babi.
Bagi Ibu Sumarsih, kiriman tersebut mengingatkannya pada cara-cara pembungkaman terhadap mereka yang berani berbicara di zaman Orde Baru.
Putranya, Bernardinus Realino Norma Irmawan, atau Wawan, adalah satu di antara 17 warga sipil yang tewas pada peristiwa Semanggi 1998 tak lama setelah Soeharto lengser dari jabatan presiden.
Pelaku penembakan Wawan tidak pernah terungkap, apalagi diadili.
Setiap Kamis sore, sejak tahun 2007, Ibu Sumarsih dan korban pelanggaran hak asasi manusia lainnya di Indonesia berdemonstrasi di depan Istana Negara, yang dikenal sebagai aksi Kamisan.
Pekan lalu, bersama dengan unsur masyarakat sipil lainnya, Ibu Sumarsih mendatangi kantor Tempo untuk menemui Francisca Christy Rosana, atau Cica, dan memberikannya seikat mawar putih.
Setelah kepala babi yang dipotong kupingnya ditujukan kepada Cica, kemudian beberapa hari kemudian, Tempo juga menerima "kiriman" kotak yang dibungkus kertas kado bermotif mawar merah, berisi enam ekor tikus got yang dipotong kepalanya.
"Wartawan adalah ujung tombak perjuangan keluarga korban pelanggaran HAM. Apapun yang kami lakukan, jika tidak diliput dan diberitakan oleh para jurnalis tidak akan ada artinya."
"Jadi, ketika TEMPO mendapatkan kiriman kepala babi, kami memberikan dukungan kepada teman-teman untuk menguatkan," tutur Ibu Sumarsih kepada ABC Indonesia.
"Walaupun penguasa merasa itu bukan teror, tapi bagi kami korban pelanggaran HAM, pengiriman kepala babi dan juga tikus ke TEMPO ini adalah cara-cara yang dilakukan di era Orde Baru untuk membungkam para penyuara kebenaran itu," tambahnya.
ABC juga menghubungi Cica setelah peristiwa itu, tetapi melalui pesan singkat Cica meminta ABC menghubungi Bagja Hidayat, wakil pemimpin redaksi Tempo.
"Cica memang sengaja jadi tidak 'dikeluarkan' dulu karena dia masih trauma. Apalagi di antara insiden kepala babi dan tikus itu ada serangan digital ke WhatsApp ibunya … diambil alih oleh seorang laki laki tidak dikenal," kata Bagja kepada ABC Indonesia.
"Jadi ini terornya bertubi-tubi. Tentu saja Cica sangat khawatir ya, karena itu sudah menyasar orang lain di luar dirinya sendiri."
'Pesan yang lebih kuat'
Bagja mengatakan sepanjang sejarah, Tempo sudah pernah menerima berbagai bentuk intimidasi, tetapi yang baru diterima setelah pengesahan RUU TNI "punya pesan yang lebih kuat."
"Sebelumnya kan ada bom, ada orang datang menggeruduk, ada doxing, ada hijack telpon, … sekarang itu pakai hewan yang dibunuh."
"Saya kira ini pesannya lebih kuat dibanding serangan-serangan yang sebelumnya karena bagaimana bisa ada orang menakut-nakuti orang lain dengan membunuh makhluk hidup yang lain? Selain pecundang juga, ia juga tidak bermoral."
"Kami membacanya bahwa ini adalah bentuk baru dari teror kepada masyarakat sipil, pada media."
Bagja mengatakan bukan tidak mungkin gaya intimidasi yang lebih represif ini akan menjadi awal mula kembalinya pembungkaman pers seperti yang terjadi di era Orde Baru.
Tempo adalah salah satu organisasi media yang dikenal independen dan kritis pada pemerintah sejak masa Orde Baru.
Tempo pernah dibredel pada tahun 1994 oleh pemerintah Presiden Soeharto, setelah memberitakan dugaan kasus korupsi impor 39 kapal perang bekas Jerman Timur dengan alasan pemberitaan tersebut membahayakan stabilitas nasional.
Bagi wartawan senior Bayu Wardhana, teror yang diterima oleh Tempo bisa berdampak juga pada jurnalis dari media lainnya.
Terutama, kata Bayu, para jurnalis yang sebelumnya sudah menerima ancaman, atau dilarang meliput, bahkan diminta beritanya diturunkan, serta mereka yang kurang mendapat dukungan dari kantor beritanya.
"Pastinya ada efek yang makin berani menulis, tapi ada juga yang akan jadi pikir-pikir untuk menulis," jelas Bayu, yang juga Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).
'Momentum untuk konsolidasi'
Bagja berharap polisi bisa segera menemukan pelaku teror Tempo ini.
"Saya rasa tidak tidak sulit untuk menemukan siapa pelakunya."
"Pelakunya memakai kurir aplikasi pengiriman barang, kemudian ada tempat pick-up nya, orang yang mengirimkannya, ada namanya, dan ada identitasnya, sehingga bagi tugas polisi, ini sangat mudah."
"Kemudahan itu mesti ditunjukkan kepada semua orang, sehingga ada semacam efek jera bagi siapapun yang akan melakukan hal serupa di masa mendatang, karena penegakan hukum berjalan," tutur Bagja.
Bayu Wardhana mengatakan serangan dan ancaman yang menargetkan wartawan serta kantor berita sering kali mengalami kebuntuan, atau mengambang.
"Tidak pernah dilanjutkan dengan tuntas, meskipun bagi para jurnalis kemudian tahu ini sebenarnya di antara mereka saja pelakunya," kata Bayu.
Dari pengamatannya, jika kekerasan terhadap jurnalis, misalnya pemukulan, yang dilakukan warga sipil, biasanya akan dituntaskan kasus hukumnya.
Namun jika kekerasan melibatkan institusi kenegaraan, termasuk polisi atau militer, biasanya jarang terungkap. Jika pun terungkap kasusnya menjadi "mengantung", tambah Bayu.
"Ini jadi catatan bahwa reformasi di tingkat kepolisian maupun di tingkat TNI belum selesai."
Ketika dimintai tanggapan atas insiden minggu lalu, Hasan Nasbi, juru bicara Presiden Prabowo Subianto, mengatakan kiriman kepala babi itu seharusnya "dimasak saja."
Namun ia kemudian mengklarifikasi pernyataannya, dengan menegaskan bahwa "tidak ada perubahan dalam komitmen pemerintah terhadap kebebasan pers".
Bagja menyayangkan tanggapan Kantor Komunikasi Kepresiden yang" tidak menunjukkan kelasnya sebagai seorang juru bicara Presiden, sekaligus menunjukkan bagaimana pemerintah melihat ke media, atau bagaimana rezim pemerintahan Pak Prabowo melihat kebebasan pers dan melihat tugas media.""Mungkin dia melihatnya seperti itu, dengan sebelah mata dan menggampangkan, sehingga ketika ada teror yang kami anggap sangat serius, itu dibalasnya dengan jokes," kata Bagja.
Namun, baik Bagja dan Ibu Sumarsih mengaku tidak takut pada teror dan pada UU TNI yang berpotensi mengancam masyarakat sipil, termasuk penuntasan kasus HAM di Indonesia.
"Pesan saya jangan takut untuk menghadapi apa pun risikonya," kata Ibu Sumarsih.
Sekecil apa pun, saya selalu memelihara harapan. Boleh lelah tetapi tidak boleh putus asa," tambah dia.
"Insya Allah tidak takut karena banyak dukungan mengalir kepada Tempo," kata Bagja Hidayat.
"Saya kira ini momentum yang tepat untuk kita konsolidasi … setelah reformasi 98 kita terbuai oleh "keberhasilan" kita menumbangkan Soeharto, akibatnya masyarakat sipil jauh dari kampus, kampus jauh dari media massa, dan media juga tidak dekat dengan masyarakat sipil."
"Teror kepada Tempo harusnya menyadarkan bahwa kita sudah lama tercerai-berai sehingga kekuatan-kekuatan represif itu bisa kembali dengan mudah," kata Bagja.
Bayu dari Aliansi Jurnalis Independen mengajak warga untuk terus mendukung jurnalisme di Indonesia, salah satunya adalah membeli atau berlangganan produk jurnalisme dan mau membayar untuk situs yang memiliki fitur 'paywall'.
Selain itu Bayu berharap agar warga bisa ikut berpartisipasi dalam jurnalisme dengan cara ikut membagikan informasi, khusunya untuk jurnalisme investigasi.
"Mari kita lawan, mari kita perjuangkan demokrasi ini, karena media juga bagian dari masyarakat sipil," jelasnya.
Baca beritanya dalam bahasa Inggris
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.