Minggu, 5 Oktober 2025
ABC World

'Black Lives Matter' Membuat Isu Rasisme di Papua Banyak Dibicarakan

Unjuk rasa global \'Black Lives Matter\' telah memicu antusias warga Indonesia untuk kembali mengingat masalah di Papua.

Gerakan Black Lives Matter telah menginspirasi banyak orang untuk membicarakan rasisme sistemik di negara mereka sendiri, termasuk di Indonesia.

Seorang perempuan asal Papua ikut berorasi dalam rangkaian aksi protes sekaligus aksi unjuk rasa solidaritas \'Black Lives Matter\' menuntut keadilan atas kematian George Floyd di Amerika Serikat yang digelar di Melbourne, Australia, pada Sabtu (06/06) lalu,

"Nama saya Cindy Makabory. Saya bangga lahir dari pasangan pribumi berkulit hitam dari Melanesia," ucapnya dalam video dalam bahasa Inggris.

Dalam orasinya, Cindy menceritakan insiden yang terjadi di asrama mahasiswa Papua di Surabaya dan di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu, di mana teriakan berbau rasis seperti \'monyet\' disematkan pada orang Papua.

Ia juga menceritakan hukuman yang diterima beberapa orang Papua yang menginisiasi protes melawan perlakuan rasisme tersebut.

"Kemarin, tujuh orang tahanan politik Papua menghadapi hukuman 5, 10, 15, dan 17 tahun penjara, dan kesalahan yang mereka lakukan adalah melawan rasisme dan memperjuangkan hak Papua untuk menentukan nasib mereka sendiri, sementara aparat keamanan yang melakukan aksi rasisme hanya dihukum 6 bulan penjara," kata Cindy dengan lantang.

"Ini secara jelas menunjukkan sistem hukum Indonesia bias dan secara institusional rasis terhadap orang-orang Papua," tambahnya.

Mereka yang diadili termasuk aktivis Buchtar Tabuni dari Gerakan United Liberation untuk Papua Barat.

Selain Cindy yang menggunakan momentum gerakan \'Black Lives Matter\' untuk melihat sikap rasisme terhadap orang Papua, Andreas Harsono dari \'Human Rights Watch\' juga mengunggah sebuah tweet yang membandingkan kematian George Floyd dengan insiden di Indonesia beberapa tahun yang lalu.

"George Floyd yang ditahan mirip dengan kasus Obby Kogoya 2016, seorang lelaki Papua yang kepalanya diinjak oleh [seorang] polisi Indonesia, ketika asramanya dikepung di Yogyakarta, Pulau Jawa #PapuanLivesMatter #BlackLivesMatter," katanya.

Rasisme terhadap orang Papua di Indonesia adalah masalah yang rumit.

Apalagi jika dirunut lebih jauh ke belakang dari sejarah masuknya Papua ke wilayah Republik Indonesia, keberadaan sumber tambang yang besar, sampai masih terbatasnya kondisi di Papua meski sudah menyandang status otonomi khusus.

Provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia terletak di bagian barat daya pulau Papua yang kaya sumber daya, di mana penduduknya memiliki ikatan budaya dan etnis yang dekat dengan Melanesia.

Wilayah ini ada di bawah kekuasaan Belanda sebelum masuk ke Indonesia melalui referendum yang didukung PBB pada tahun 1969.

Memicu gerakan \'Papuan Lives Matter\'

Aktivis pro-Papua sekaligus pengacara hak asasi manusia pro-Papua, Veronica Koman menilai gerakan global anti-rasisme telah menghasilkan momentum baru di Indonesia.

Menurutnya hal ini terlihat dari tagar #PapuanLivesMatter yang sempat menjadi tren di Twitter selama berhari-hari dan digunakan bersama #BlackLivesMatter.

"Seperti di tempat lain, gerakan global juga telah diadaptasi menjadi Papua Lives Matter [di Indonesia]," kata Veronica yang kini tinggal di Australia kepada ABC.

Namun, selain mengapresiasi antusiasme orang Indonesia yang terpicu oleh gerakan \'Black Lives Matter\' untuk kembali mengingat masalah di Papua, ia juga mengingatkan fakta yang ironis.

"Jika Anda membandingkan dakwaan, para pelaku rasisme yang terlibat dalam insiden [Hari Kemerdekaan] menerima hukuman hingga 10 bulan dan sekarang dibebaskan.

"Ironisnya adalah ketika dunia menghadapi anti-rasisme, di Indonesia korban rasisme menghadapi hukuman penjara yang panjang."

Teuku Faizasyah, juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, mengatakan kepada ABC "rasisme tidak memiliki tempat di Indonesia" dan membantah semua tuduhan sikap rasis sistemik terhadap orang Papua.

"Insiden penganiayaan orang Indonesia asli Papua adalah peristiwa yang terpisah dan tidak mencerminkan kebijakan Pemerintah," katanya.

"Untuk menyamakan insiden-insiden yang terisolasi itu dengan gerakan global untuk kesetaraan tidak tepat sasaran. Selain itu, para pendukung kampanye Papua adalah mereka yang bertujuan untuk memisahkan provinsi Papua dari Indonesia."

Papuan Lives Matter Yogya

AP: Dita Alangkara: Salah satu dari aksi unjuk rasa meminta tahanan politik Papua dibebaskan yang digelar di Yogyakarta, 15 Juni 2020.

Laporan tersebut juga menyoroti 26 kasus dugaan pembunuhan tidak sah terhadap warga sipil Papua oleh pasukan keamanan Indonesia antara Maret 2018 dan Mei 2020, selain menyebutkan penyelidikan terhadap mereka yang terlibat kasus tersebut sangat jarang dilakukan.

"Semua 26 kasus terjadi ketika pasukan keamanan menggunakan kekuatan berlebihan untuk menangani protes sosial yang damai, insiden gangguan publik," kata laporan itu.

"Tidak ada mekanisme yang independen, efektif, dan tidak memihak untuk menangani pengaduan publik tentang pelanggaran oleh pasukan keamanan, termasuk pelanggaran pidana yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia, membuat banyak korban tanpa akses ke keadilan, kebenaran dan reparasi."

ABC telah menghubungi Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk memberikan komentar tetapi belum menerima tanggapan.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved