Masjid Agung Sumedang, Paduan Arsitektur Islam dan Tionghoa
MASJID Agung Sumedang dibangun pada 1850 dan merupakan perpaduan arsitektur Tionghoa dan Islam.
Laporan Wartawan Tribun Jabar, Deddi Rustandi
TRIBUNNEWS.COM -- MASJID Agung Sumedang dibangun pada 1850 dan merupakan perpaduan arsitektur Tionghoa dan Islam. Perpaduan arsitektur Tionghoa-Islam itu terlihat pada atap masjid bersusun tiga, mirip bangunan pagoda, kelenteng, atau vihara. Disusun makin ke atas makin kecil. Tingkatan paling atas berbentuk limas yang disebut mamale.
"Pada bagian puncaknya bertengger sebuah benda yang disebut mustaka. Bentuknya menyerupai mahkota raja-raja di masa lampau," kata R Achmad Wiria Atmadja (Aom Achmad), pemerhati sejarah dan Kepala Museum Prabu Geusan Ulun, Rabu (8/8/2012).
Bentuk mimbarnya sangat antik dan dibiarkan berdiri dalam bentuk aslinya, dengan empat tiang yang dicat keemasan dan bangunan kecil dengan atap limas. Tempat khatib berdiri dibuat dengan empat trap sebagai tangga dan tempat duduknya seperti singgasana kerajaan.
"Tombak yang suka dipegang oleh muraqi dan khatib masih utuh terbuat dari kayu jati dan berumur satu abad lebih, sekitar 120 tahun," kata H Donny Ahmad Munir, Ketua DKM Masjid Agung Sumedang.
Ciri khas yang paling menonjol pada bangunan Masjid Agung Sumedang adalah banyaknya tiang penyangga. Tiang penyangga utama yang dibuat tempo dulu tidak terbuat dari besi dan beton, tapi dibuat dari susunan bata yang dibulatkan dengan ukuran besar.
Secara keseluruhan ada 166 tiang, yang terdiri atas tiang utama bagian dalam sebanyak 14 buah dengan diameter 100 cm dan tiang utama bagian luar sebanyak 106 buah dengan diameter 60 cm.
"Bila dilihat dan segi artistik tiang-tiang tersebut jadi ciri khas kearsitekan masjid kuno dan antik bergaya abad ke-19," kata Donny, yang juga anggota DPRD Jabar.
Bagian atas kosen pintu dan jendelanya penuh dengan hiasan ukiran kayu yang konon menorehkan citra ukiran model Cina. Pada bagian mimbar juga terdapat sebuah properti yang penuh dengan ukiran bergaya Cina.
Pada bangunan bagian dalam terdapat ventilasi berupa jendela dan pintu yang berbeda ventilasi dengan bangunan modern, sedangkan emper depan dan pinggir tidak memakai dinding atau tembok sehingga udara segar mengalir penuh ke emper masjid tersebut dan pemandangan dari dalam keluar dan sebaliknya menjadi sangat nyaman. Jumlah jendela di bangunan dalam 20 buah dengan tinggi empat meter dan lebar satu setengah meter, terbuat dari kayu jati dengan jumlah pintu utama sebanyak tiga buah.
Menurut Aom Achmad, cerita yang berkembang secara lisan menuturkan, saat mendirikan Masjid Agung secara kebetulan bersamaan dengan masuknya sejumlah imigran dari daratan Tionghoa ke Sumedang. "Konon saat itu terdapat sekelompok etnis Tionghoa yang datang ke Sumedang dengan hidup nomaden," katanya.
Dikisahkan, kelompok etnis Tionghoa tersebut ingin menunjukkan eksistensinya dengan cara mencoba menjajal ilmu beladiri mereka dengan penduduk di sekitar Sumedang kota. Maka dipertemukanlah mereka dengan sejumlah tokoh Sumedang yang kebetulan memiliki ilmu beladiri. Apalagi di daerah Kaum konon pernah ada tempat khusus yang disebut Kalangan atau arena tempat bertanding atau berlatih beladiri.
Dan terjadilah pertandingan sengit antara kedua belah pihak. Pertarungan kedigdayaan itu berakhir dengan kekalahan orang-orang Tionghoa. Sebagai tanda menyerah, mereka bersedia mengabdikan diri kepada para tokoh Sumedang. Mereka membantu mendirikan masjid yang digagas oleh Pangeran Soegih atau Pangeran Soeria Koesoemah Adinata, bupati Sumedang tahun 1836-1882.
Oleh Pangeran Soegih ini, mereka diberi tempat bermukim di sebelah utara pusat pemerintahan. Hingga kini tempat tersebut bernama Gunung Cina.