Prosesi Labuhan Merapi 2012
Untuk kali keduanya setelah erupsi dahsyat tahun 2010 silam, prosesi labuhan merapi tuntas digelar pada Kamis (21/6/2012) pagi

Prosesi Labuhan Merapi 2012
Laporan Wartawan Tribun Yogya/ Mona Kreisdinar
TRIBUNNEWS.COM SLEMAN, - Untuk kali keduanya setelah erupsi dahsyat tahun 2010 silam, prosesi labuhan merapi tuntas digelar pada Kamis (21/6/2012) pagi. Acara inti berupa pemberian sesaji dan pemanjatan doa - doa mulai digelar sejak pukul setengah delapan pagi. Mereka bertolak pada pukul tujuh, dari pertigaan Ngrangkah, Kinehrejo, Cangkringan menuju Alas Bedengan. Untuk mencapai lokasi itu, rombongan pembawa sesaji dan uba rampe, serta warga masyarakat harus menempuh perjalanan selama 30 menit melalui trek yang cukup curam dan berpasir.
Berdasarkan pantauan Tribun, rombongan sempat berhenti sejenak sebanyak dua kali untuk menyesuaikan jarak antara rombongan pertama abdi dalem dengan rombongan kedua yang merupakan rombongan para keparak atau abdi dalem perempuan. Sesekali mereka memang terpaut jarak meski tidak begitu jauh. Wajar saja, para keparak ini menggunakan kain sinjang yang membuat langkah mereka tak begitu leluasa. Selain itu, mereka juga masing - masing membawa beban berupa sesajian seberat hampir 10 kilogram.
"Jalurnya jauh lebih pendek dibandingkan dengan lokasi labuhan sebelum erupsi dulu. Tapi tetap saja, ini juga menantang, sampai mandi keringat gini," ujar Yu Muji, seorang Keparak dari Kepuharjo seraya merapikan bedaknya yang luntur karena keringat.
Sementara itu, sesampainya di lokasi labuhan, sesajian, uba rampe dan kembang setaman pun digelar di sebuah altar tembok untuk kemudian diikuti prosesi lanjutan berupa pembacaan doa - doa.
Prosesi inti ini, berlangsung cukup singkat, hanya sekitar 20 menit. Mulai dari membakar kemenyan dan cerutu, pembacaan doa serta diakhiri dengan pembagian berkat yang berupa nasi putih yang dilengkapi daging ayam suwiran. Mereka memang membawa delapan kilo nasi putih yang kemudian dibagi ke dalam plastik kecil untuk dibagikan. Setiap plastiknya diberi jatah empat sendok makan nasi putih dan suwiran daging ayam.
Adapun, sesaat setelah pembagian 'berkat' yang menandai akhir prosesi acara tersebut selesai dilaksanakan. Para abdi dalem mulai beranjak dari tempat duduknya. Tak terkecuali bagi juru kunci Gunung Merapi, Ki Lurah Suraksosihono, atau yang akrab disapa Mbah Asih. Puluhan orang kemudian berebut mengambil gambar pria yang tak lain adalah anak dari Mbah Maridjan ini. Tak sedikit pula yang meminta berfoto bersama dan memberi salam. Setelah meladeni cukup banyak warga, ia pun kemudian mulai siap - siap meninggalkan lokasi labuhan.
"Minggir - minggir ayo buka jalan," teriak seorang relawan yang memerintahkan kerumunan warga untuk memberikan jalan kepada juru kunci merapi ini.
Lantas secara sukarela, kerumunan massa itupun mulai menepi di jalan setapak yang menjadi jalur utama prosesi labuhan merapi.
"Santai wae, gak usah seperti itu," jawab Mbah Asih yang mengaku rikuh dan tak ingin menerima perlakuan spesial demikian.
Kepada Tribun Jogja, Mbah Asih memang mengaku tak ingin diberi perlakuan spesial. Ia justru ingin berbaur tanpa ada sekat - sekat yang membatasi dengan pengunjung yang penuh sesak itu. Terlebih, menurutnya, tidak ada posisi spesial yang membuatnya harus menerima perlakuan khusus. Hanya di beberapa acara saja yang memang menempatkan dirinya sebagai pimpinan ritual. "Ya biasa saja, gak perlu ketat - ketat amat, mendingan kan cair begitu saja," tandasnya.
Sosok Mbah Asih memang merupakan figur yang menjadi sorotan utama sepanjang rangkaian acara tersebut. Wajar saja, Mbah Asih berperan penting sebagai pemimpin jalannya ritual mulai dari penyerahan uba rampe dari keraton Yogyakarta, acara doa bersama pada malam hari sebelumnya hingga pelaksanaan acara inti labuhan yang berlangsung di Alas Bedengan.
Menurut dia, ada yang berbeda dengan uba rampe tahun ini satu diantaranya Sinjang Kawung Kemplang yang diganti dengan Sinjang Limar. Meski begitu, ia mengaku tak begitu paham dengan penggantian uba rampe tersebut karena merupakan wewenang pihak keraton. Akan tetapi, ia mengisyaratkan bahwa syarat uba rampe bisa menyesuaikan situasi dan kondisi tanpa harus keluar dari pakem yang sudah dilakukan secara turun temurun.
Adapun uba rampe yang saat itu dibawa, meliputi Sinjang Cangkring, Sinjang Limar, Semekan Gadung Melati, Semekan Gadung, Desthar Doro Muluk, Peningset, Seswangen, Arto Tindeh, serta Kambil Watangan yang berupa perlengkapan berkuda. Semua uba rampe itu, dibawa kembali seselesainya prosesi acara. Hanya kembang setaman saja yang ditinggalkan di altar Alas Bedengan. "Semua ini hanya simbol saja, kalau sudah selesai ya tentu dibawa lagi," jelasnya.